Spirit of Aqsa- Di bawah gelap malam, Nader Abu Hamidan dan keluarganya bernaung di stasiun pengisian bahan bakar kosong. Mereka berlindung tanpa alas tidur atau selimut memadai, setelah selamat dari pembantaian Israel di Gaza Utara sejak awal Oktober.
Keluarga Abu Hamidan bukan satu-satunya. Banyak keluarga pengungsi lainnya mencari tempat berlindung di sudut-sudut Kota Gaza, yang kini terpuruk. Pusat-pusat penampungan penuh sesak, memaksa mereka mengungsi ke bengkel kosong atau bangunan yang telah usang.
Keluarga-keluarga ini menghadapi kekurangan makanan, air, selimut, dan obat-obatan. Abu Hamidan mengungkapkan bahwa bantuan yang sedikit hampir tidak pernah sampai kepada mereka, karena difokuskan pada pusat-pusat penampungan yang sudah kelebihan kapasitas.
Kehidupan Penuh Kekurangan
Nader Abu Hamidan, 31 tahun, mengungsi bersama keluarganya dari Gaza Utara setelah melalui 12 hari pengepungan. Selama itu, mereka bertahan hidup di tengah serangan bertubi-tubi, dan kehilangan 32 anggota keluarga, termasuk ibu dan saudara laki-lakinya. Meski telah berulang kali meminta bantuan organisasi kemanusiaan, usahanya sia-sia.
Hingga kini, 12 keluarga dengan 85 anggota tinggal di SPBU kosong yang tidak memadai. “Di malam hari, kami tidur di lantai, tanpa selimut atau penghangat,” ujarnya. Israel telah memutus pasokan listrik dan melarang masuknya bahan bakar sejak 7 Oktober, membuat mereka semakin sulit.
Kehidupan di Bengkel Terbuka
Walaa Na’im, ibu lima anak, menghadapi kesulitan tambahan karena harus menyusui bayinya yang baru berusia dua bulan. Ia tidak memiliki susu formula atau popok untuk bayinya. Setelah meninggalkan pusat penampungan, ia memilih tinggal di bengkel terbuka, yang meski keras, lebih baik dibandingkan tenda penampungan.
Di bengkel itu, Na’im kekurangan alas tidur dan selimut untuk melindungi keluarganya dari hawa dingin malam. Ia menuturkan, “Anak-anak saya semua terserang flu, termasuk bayi saya, dan saya kesulitan mencari obat.”
Tanpa akses toilet, keluarga Na’im harus berjalan ke sekolah terdekat untuk menggunakan fasilitasnya. Mereka membutuhkan tempat yang lebih aman, makanan, selimut, dan obat-obatan.
Tanpa Tempat Berteduh
Dekat tempat Na’im tinggal, lima keluarga lainnya dengan 40 orang berbagi bengkel terbuka. Rim al-Bisyuni, salah seorang pengungsi, berjalan kaki bersama keluarganya dari Gaza Utara, menghindari serangan yang terus mengancam jiwa. Setelah mengalami cedera akibat serpihan peluru, ia mengungsi tanpa bisa membawa barang-barang mereka.
Di bengkel tanpa jendela atau toilet, para pengungsi tidur di lantai tanpa alas dan selimut yang memadai. Rim mengungkapkan bahwa banyak bantuan ditujukan ke pusat penampungan di lapangan sepak bola di pusat Gaza, tetapi tidak menjangkau mereka.
“Bukan Kehidupan”
Sebelum perang, suami Ibtisam al-Mutawaq bekerja di tempat cuci pakaian. Namun, kini keluarganya tinggal di bengkel bersama tiga keluarga lain. Al-Mutawaq, yang mengidap penyakit jantung, mengungsi bersama tujuh anaknya tanpa membawa barang-barang mereka.
Rumahnya di Jabaliya terbakar akibat serangan, dan ia kini kesulitan memberi makan keluarganya. Kenaikan harga kayu bakar menambah kesulitan, dan mereka sering mengandalkan “takiat” yang memberikan sup lentil setiap hari.
“Ini bukan kehidupan,” ujar al-Mutawaq. Mereka terpaksa mengambil air dari lembaga terdekat karena tidak ada bantuan yang datang.
Sumber: Al Jazeera