Spirit of Aqsa- Dalam perang genosida yang berlangsung di Gaza Utara, rakyat Palestina memperingati setahun peristiwa pembantaian mengerikan yang dilakukan tentara Israel terhadap pemukiman di Kamp Jabalia, yang dikenal sebagai Pembantaian Jabalia Pertama.

Pada 31 Oktober 2023, warga Blok 6 di tengah Kamp Jabalia, Gaza Utara, menghadapi kehancuran. Pesawat Israel menjatuhkan tujuh ton bom yang memusnahkan seluruh kawasan pemukiman yang dihuni ribuan warga dan pengungsi Palestina.

Pembantaian tersebut membuat lebih dari 400 orang dan melukai ratusan lainnya, dengan puluhan lainnya masih hilang. Banyak keluarga, termasuk keluarga Abu Nasr, Abu Qumsan, Hegazi, Masoud, al-Bahnasawi, dan Ukasha, tercatat dihilangkan dari catatan sipil, dengan jasad keluarga mereka tak tersisa akibat serangan itu.

Peringatan setahun pembantaian ini datang di tengah serangan baru Israel yang dimulai pada 5 Oktober 2024 di Kamp dan Kota Jabalia, dengan dalih mencegah Hamas membangun kembali kekuatannya di wilayah tersebut. Namun, warga Palestina menyatakan bahwa Israel berupaya menguasai Gaza Utara untuk dijadikan zona penyangga, mengusir penduduknya sambil memblokade akses makanan, air, dan obat-obatan, serta membunuh lebih dari seribu warga Palestina dalam waktu kurang dari sebulan.

Trauma yang Tak Terlupakan

Esraa Hegazi, yang selamat setelah dievakuasi dari reruntuhan dengan luka-luka, mengenang tragedi itu sebagai peristiwa paling memilukan dalam hidupnya, ketika ia kehilangan sebelas anggota keluarganya akibat runtuhnya rumah mereka dan rumah-rumah di sekitar. “Hari itu meninggalkan trauma besar yang masih belum pulih,” ujarnya.

Esraa bercerita bahwa saat pembantaian, ia berada di dapur bersama ibunya di rumah yang penuh dengan kerabat yang mengungsi. Rumah satu lantai itu hancur seketika saat bom-bom Israel menghantam lingkungan mereka, menyisakan hanya reruntuhan dan kegelapan yang menutup siang.

“Dalam hitungan detik, saya kehilangan ibu, saudari-saudari, dan sebagian besar keluarga saya. Saya bahkan tak bisa bersuara akibat shock saat orang-orang dari kampung sekitar datang melihat apa yang terjadi,” katanya.

Esraa dievakuasi ke Rumah Sakit Indonesia, dan kini ia bertanya-tanya apa yang tersisa dalam hidupnya setelah luka fisik sembuh, namun luka hati tak mungkin pulih. Ia berharap bisa menjadi aktivis media, mengangkat keluarganya dari kemiskinan, namun genosida Israel menghancurkan semua impiannya.

Hilangnya Anggota Keluarga

Rami al-Talmis kehilangan sejumlah anggota keluarganya, termasuk anaknya dan saudaranya, saat serangan Israel di Jabalia. Dengan penuh duka, ia berkata, “Pembantaian ini akan terus menghantui ingatanku, seperti menyaksikan dahsyatnya hari kiamat.”

Rami menceritakan bagaimana ia duduk bersama keluarga di rumah ketika bom menghujani mereka, merenggut nyawa anak dan saudaranya. “Saya berusaha keras menggali dengan tangan untuk mencari jasad mereka, namun hanya menemukan bagian-bagian tubuh setelah bantuan dari tetangga,” ujarnya.

Sementara itu, Mahmoud Abu Nasr berharap bisa menemukan jasad dua puluh anggota keluarganya yang tubuhnya hancur akibat serangan di lingkungan “Harat as-Sanidah” yang membuat rumah-rumah rata dengan tanah. Saat tiba di lokasi, Mahmoud tak mengenali satu pun tempat yang ia kenal. “Hanya ada lubang besar selebar 10 meter di tempat rumah kakek saya dulu berdiri,” tuturnya.

Mahmoud mencari hingga malam hari dan terus berusaha selama berhari-hari, namun tak berhasil menemukan jasad keluarga besarnya. “Saya hanya ingin menemukan jasad mereka untuk mengucapkan selamat tinggal dan mengubur mereka, tapi bom kebencian Israel menghalangi saya,” ujarnya pilu.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here