Spirit of Aqsa- Perang yang berkelanjutan di Gaza menempatkan ribuan wanita hamil dalam kondisi yang mengerikan, menghadapi ancaman kematian, keguguran, atau kelahiran prematur setiap hari.

Hind (26 tahun), seorang wanita Palestina, menggambarkan kehidupan sehari-harinya selama perang di Gaza sebagai “perjuangan terus-menerus dengan kondisi sulit yang tidak masuk akal dan tak terduga yang mengancam hidup dan janinnya.”

Hind adalah satu dari 150 ribu wanita hamil yang menghadapi kondisi tragis di Jalur Gaza akibat pembantaian yang dilakukan oleh Israel. Sejak mengetahui dirinya hamil tujuh bulan lalu, Hind hidup dalam ketidakpastian dengan kebutuhan dasar yang sulit terpenuhi.

“Sejak mengetahui saya hamil, perasaan saya campur aduk antara bahagia dan takut karena situasi tidak manusiawi yang kami jalani. Namun, saya memutuskan untuk berjuang melindungi diri dan janin saya,” ujar Hind, dikutip Aljazeera, Kamis (6/6/2024).

Tantangan Hidup dengan Air dan Makanan Terbatas

Hind kesulitan mendapatkan makanan. Suaminya harus berjalan jauh untuk mencari makanan sehat, tetapi sering kali pulang dengan tangan kosong, karena kekurangan uang dan krisis pangan. Akibatnya, Hind terpaksa mengkonsumsi makanan kaleng yang tidak sehat.

Masalah air bersih juga menjadi tantangan besar. Hind mencoba membeli air mineral dari pedagang keliling atau mendapatkan bantuan, namun tetap mengalami masalah kesehatan, karena air yang didapat sering kali sudah kadaluarsa dan tercemar.

Kondisi kebersihan yang buruk juga mempengaruhi Hind. Dia harus menunggu berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, untuk bisa mandi. “Semua kondisi ini membuat saya stres dan cemas sepanjang waktu, yang berdampak negatif pada kesehatan saya dan janin,” kata Hind.

Ribuan Ibu Hamil di Tengah Krisis Kemanusiaan

UNRWA mengungkapkan, ada 150 ribu wanita hamil di Gaza yang hidup dalam kondisi tragis karena perang. Mereka sulit mendapatkan perawatan medis karena banyak pusat kesehatan yang tidak beroperasi akibat serangan udara.

Mereka harus menghadapi minimnya makanan bergizi, air bersih, dan fasilitas kebersihan. Mereka sering menderita penyakit menular dan infeksi karena lingkungan yang tidak sehat.

Ketakutan Hiba dan Suffering yang Tak Berujung

Hiba, seorang wanita hamil lainnya, merasa takut kehilangan janin setiap saat. Dia harus menunggu lama untuk mendapatkan air untuk mandi, sering kali 7 hingga 10 hari. “Kami tidak memiliki air, makanan, atau keamanan yang bisa menjamin keselamatan kami,” ujarnya.

Hiba juga mengeluhkan makanan yang tidak sehat, yang menyebabkan banyak infeksi dan kelelahan. Dia sulit mengakses perawatan medis karena antrean panjang di klinik lapangan, yang membuat mereka rentan terhadap penyakit menular.

Suhad: Risiko Kematian dan Kekurangan Nutrisi

Suhad, hamil delapan bulan, menderita kekurangan vitamin dan zat besi. Ia terinfeksi bakteri dari toilet umum, menyebabkan cairan ketuban berkurang dan mengalami pendarahan yang hampir mengancam janinnya.

“Saya takut kehilangan hidup saya atau janin saya karena kurangnya perawatan medis dan obat-obatan,” katanya.

Banyak rumah sakit yang penuh sesak sehingga dokter membuat klinik keliling untuk membantu melahirkan. Namun, sering kali proses persalinan dilakukan tanpa anestesi, yang memperparah penderitaan ibu hamil.

Dokter: Berjuang Menyelamatkan Nyawa Ibu dan Anak

Dr. Muhammad Subaih, seorang dokter kandungan, mengatakan mereka berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan nyawa ibu dan bayi. Namun, sering kali mereka kehilangan janin atau ibu karena tubuh yang lemah dan kurangnya kekebalan tubuh.

Einas: Pengalaman Mengerikan Keguguran

Einas, yang mengalami keguguran saat menunggu giliran di toilet umum, menceritakan pengalamannya dengan suara terputus-putus. “Saya melihat janin saya jatuh dan mengalami pendarahan hebat,” katanya. Sejak keguguran, Einas terinfeksi hepatitis, membuatnya terus menderita tanpa kepastian akan keselamatannya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here