Spirit of Aqsa, Palestina- Ancaman kelaparan semakin nyata bagi penduduk dan pengungsi akibat kelangkaan pasokan makanan akibat penutupan perbatasan Rafah dengan Mesir dan terus berlanjutnya serangan Israel.
Di Jabalia, di utara Gaza, Ummu Sahar Al-Awamudi berusaha keras untuk bertahan hidup di tengah kondisi krisis pangan parah. Dia mengungsi bersama keluarganya setelah teroris Israel menghancurkan rumah mereka.
Kini, Ummu Sahar tinggal bersama delapan anggota keluarganya di tribun sekolah yang dioperasikan oleh Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) di kamp Jabalia. Untuk membeli bahan makanan pun sudah sulit.
Ummu Sahar terpaksa mengolah makanan dari pakan ternak yang dihaluskan, dibungkus sedikit garam dan rempah-rempah.
Adegan yang difilmkan oleh kru Al Jazeera memperlihatkan kehidupan yang keras di sekolah yang menjadi kamp pengungsi, yang telah berubah menjadi lingkungan yang padat. Gambar lain menunjukkan putranya, Nasser, mencoba menyalakan api dengan kayu yang basah, karena kondisi cuaca yang buruk.
“Makanan ini tidak mengenyangkan. Anak kecilku bangun di malam hari dan menangis karena lapar, karena hanya roti yang bisa mengisi perut anak-anak,” kata Ummu Sahar.
“Hari ini saya menemukan tepung jagung ini, dan mungkin saya tidak akan menemukannya besok. Saya lelah mencari susu anak-anak di pasar, tapi saya tidak menemukan apa pun. Keadaan semakin memburuk setiap hari, keadaan kami sangat menderita,” lanjutnya.
Organisasi kesehatan global, Oxfam, UNICEF, dan Program Pangan Dunia telah mengonfirmasi bahwa Gaza telah berubah menjadi medan kematian, kelaparan, dan penyebaran penyakit yang luas.
Sumber: Al Jazeera