Spirit of Aqsa, Palestina- Saluran resmi Israel, Channel 11, mengungkapkan, Menteri Luar Negeri Amerika, Anthony Blinken, mendapat konfirmasi selama pertemuan dengan kepemimpinan politik Israel bahwa Tel Aviv tidak akan bergerak di Rafah di selatan Jalur Gaza dan wilayah Sisi Philadelphia (garis batas Salahuddin) tanpa koordinasi penuh dengan Mesir.
Hal ini menyusul pemberitaan yang menyebut Benjamin Netanyahu telah mengeluarkan instruksi kepada Tentara Israel untuk bergerak di Rafah.
Menurut saluran Israel, Blinken menyatakan kekhawatirannya tentang operasi yang akan datang di Rafah. Dia juga mengklaim ingin mengurangi kerugian yang dialami warga sipil Gaza.
Dia mengaku mendapat pesan dari Israel bahwa , “Tidak akan ada operasi di Rafah ketika ada banyak orang di sana, dan kami sedang bekerja untuk menemukan solusi untuk mengevakuasi penduduk”. Blinken juga meminta Netanyahu untuk menemukan solusi untuk masalah larangan bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza melalui Kerem Shalom.
Channel 11 mengindikasikan bahwa “tidak tampaknya operasi di Rafah akan dilakukan dalam waktu dekat, karena pertama-tama, penduduk harus dievakuasi, karena Israel tidak akan bisa bertindak ketika ada 1,2 juta penduduk Gaza di wilayah itu, dan pertanyaannya – menurut sumber yang sama – adalah ke mana penduduk Rafah akan dievakuasi?” Kembali ke utara Jalur Gaza bukanlah sesuatu yang diinginkan Israel. Kedua, yang tak kalah rumitnya, adalah berkoordinasi dengan Mesir.
Dalam beberapa hari terakhir, Israel telah melakukan pembicaraan dengan Mesir tentang masalah hari berikutnya setelah berakhirnya perang di Gaza. Perundingan tersebut dipimpin oleh Kepala Shin Bet, Ronen Bar, dan Koordinator Kegiatan Pemerintah Israel, Ghassan Alyan.
Israel menganggap Mesir sebagai elemen paling penting di hari berikutnya setelah berakhirnya perang, karena Mesir adalah pintu gerbang darat satu-satunya untuk masuk dan keluar dari Gaza, dan berperan sebagai elemen penting dan berpengaruh di dunia Arab.
Kairo mengumumkan akhir bulan lalu bahwa setiap langkah Israel menuju penjajahan Sisi Philadelphia akan mengancam hubungan Mesir-Israel yang serius dan nyata. Ini datang setelah pernyataan Netanyahu tentang pentingnya mengendalikan Sisi secara penuh.
Netanyahu mengatakan bahwa, “Sisi Philadelphia harus berada di bawah kendali kita, harus ditutup, jelas bahwa setiap pengaturan lain tidak akan menjamin pembubaran senjata yang kita kehendaki.”
Perlu dicatat bahwa pada September 2005, setelah 18 bulan perundingan, Mesir dan Israel menandatangani “Perjanjian Philadelphia” yang memungkinkan keberadaan pasukan Mesir dengan senjata ringan di wilayah tersebut, dan perjanjian tersebut berfokus pada tanggung jawab kedua belah pihak dalam “melawan aktivitas musuh terkait penyelundupan, penyusupan, dan terorisme dari wilayah salah satu negara.”