Spiri of Aqsa, Palestina- Mahkamah Agung Israel membatalkan Undang-Undang “Pembatasan Kewajaran” yang terkandung dalam paket reformasi peradilan, yang membatasi pengawasannya terhadap pemerintah dan menteri.

Keputusan ini muncul di tengah meningkatnya kritik internal terhadap manajemen pemerintahan Israel dalam perangnya di Gaza dan tekanan yang meningkat pada Benjamin Netanyahu.

Setelah pembatalah UU tersebut, internal Israel maikin dilanda perpecahan dan perselisihan. Menteri Keamanan Nasional, Itamar Ben Gvir, mengkritik pembatalan undang-undang tersebut, menyatakan bahwa ini berbahaya dan merugikan upaya perang.

Sementara itu, Menteri Kehakiman Israel, Yariv Levin, menuduh Mahkamah Agung “mengambil alih semua kekuatan” dan menyatakan bahwa mempublikasikan keputusannya tentang undang-undang kewajaran pada saat ini bertentangan dengan semangat kesatuan yang diperlukan selama perang.

Partai Likud yang berkuasa menyatakan, pembatalan oleh Mahkamah Agung terhadap undang-undang kewajaran di tengah perang bertentangan dengan keinginan rakyat.

Di sisi lain, pemimpin oposisi Israel, Yair Lapid, menyatakan dukungan penuhnya terhadap keputusan Mahkamah Agung setelah membatalkan undang-undang “kewajaran” yang membatasi pengawasannya terhadap pemerintah dan menteri.

Lapid menyerang Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dengan mengatakan bahwa dia “tidak akan bertahan” sebagai kepala pemerintahan selama 2024.

“Kita harus memilih antara kehancuran yang telah diakibatkan oleh pemerintah pada tahun 2023 dan perbaikan besar untuk pemerintah yang akan datang pada tahun 2024,” kata Lapid dalam konferensi pers di Knesset (parlemen).

Pemerintahan Netanyahu terus menghadapi kritik dan tekanan dari keluarga tahanan perang di Jalur Gaza, dengan tuntutan untuk menghentikan perang dan mencapai kesepakatan pertukaran tahanan agar semuanya pulang hidup, bukan dalam peti mati.

Pada 24 Juli 2023, Knesset Israel mengesahkan rancangan undang-undang yang diajukan oleh pemerintahan Netanyahu untuk membatasi beberapa wewenang Mahkamah Agung, meskipun adanya protes luas dari oposisi yang berjanji untuk mencabutnya ketika mereka kembali berkuasa.

Undang-undang itu seharusnya mencegah pengadilan Israel, termasuk Mahkamah Agung, dari menerapkan apa yang dikenal sebagai “standar kewajaran” pada keputusan yang diambil oleh pejabat terpilih, yang berarti membatasi kemampuan Mahkamah Agung untuk membatalkan keputusan pemerintah.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here