Spirit of Aqsa, palestina- Gaza menjadi wajah ‘persaudaraan muslim’ yang disebutkan dalam Surah Al-Hujurat ayat ke-10. Gaza tak hanya menjadi tanah para murabith, tapi juga menjadi saksi ribuan syuhada. Warga Gaza juga memberikan contoh terbaik dalam pengamalan Surah Al-Hasyr ayat 9, “Mereka mengutamakan (kaum muhajirin) atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga membutuhkan.”

 Adalah Muhammad Abu Rujaila, seorang pemuda yang berdiri di pinggir jalan menunggu para murabith dari utara Gaza. Dia bersama pemuda-pemuda di selatan Gaza bersiap menyambut rombongan murabith yang terdiri dari anak-anak dan perempuan beserta pemuda yang menyertai perjalanan tersebut.

Abu Rujailah menyambut mereka dengan air minum, selimut, dan kebutuhan pokok. Meski kondisi Gaza selatan pun tak luput dari pengeboman, tapi mereka menyediakan kebutuhan untuk mereka yang baru datang. Al Jazeera menggambarkan mereka sebagai pahlawan yang memberikan ketenangan.

Berjalan kaki 15 sampai 30 meter dari utara Gaza bukan perkara mudah. Letih tiada terkira, dan hanya membawa pakaian di badan dan perkebakalan seadanya. Tapi, mereka disambut bak saudara saat tiba di tujuan.

Perjalanan dari Utara ke Selatan

Muhammad al-Kafarna, seorang ayah yang mengantar keluarga besarnya ke Gaza selatan untuk mengungsi. Dia harus menempu perjalanan 20 kilometer dari Beit Hanoun, Gaza utara menuju lokasi penyintas di sebuah sekolah di Kota Rafah, Gaza selatan.

Dia berangkat tanpa air, makanan, dan alat tidur. Di perjalanan, tank-tank militer Israel dan penembak jitu menjadi teror. Pesawat tempur seperti capung beterbangan. Dia tak bisa mengingkari rasa penat dan rasa takut. Namun, semua perasaan itu hilang saat melihat sambutan hangat dari sesama murabith di Gaza selatan.

“Saudara-suadara kami di selatan, yang meringankan penderitaan. Kita semua adalah keluarga dan penderitaan kita sama,” ujarnya.

Kekeluargaan yang Sangat Kuat

Ummu Mustafa Shabir bersama sembilan anggota keluarga memutuskan berangkat ke Kota Rafah. Awalnya, dia tak bisa membayangkan jika harus bergabung bersama para penyintas di pusat pengungsian UNRWA.

Suami Ummu Mustafa menderita atrofi otak sehingga membutuhkan bantuan orang lain untuk beraktivitas. Dia juga harus merawat tujuh putri dan dua putra. Namun apa yang terjadi? seorang ‘pahlawan’ menawarkan untuk tinggal di apartemennya.

Tak sampai di situ, semua kebutuhan Ummu Mustafa terpenuhi. Dia mendapatkan air minum dan perlengkapan tidur. Dia menggambarkan situasi itu dengan satu kata “persaudaraan”.

“Mereka memperlakukan kami seolah-olah kami adalah keluarga, dan kami tidak merasa terasing dari mereka,” ujarnya.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here