Spirit of Aqsa, Palestina- Surat kabar Inggris “The Times” menerbitkan laporan yang menyebut zionis Israel menggunakan kelaparan sebagai senjata perang. Itu dibuktikan dengan pembatasan jumlah bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza. Jumlah tersebut sangat tidak mencukupi kebutuhan warga Gaza.

Jumlah truk yang diizinkan melewati perbatasan Rafah di Mesir telah berkurang menjadi 8 atau 10 truk per hari, menurut pejabat PBB. Artinya, pasokan yang tiba pekan lalu jauh lebih sedikit dibandingkan yang biasanya dikirimkan dalam waktu 24 jam, sejak Presiden AS Joe Biden merundingkan kemajuan bantuan selama kunjungan ke Israel.

Beberapa lembaga kemanusiaan internasional mengatakan, toko roti dibom dalam serangan udara Israel. ActionAid Palestine mengatakan dalam sebuah pernyataan, “Sebelum rencana serangan darat dari Israel, kelaparan digunakan sebagai senjata perang, karena toko roti masih menjadi sasaran pemboman tanpa pandang bulu dan menghadapi kekurangan bahan bakar yang parah.”

Oxfam mengatakan, hanya 2% dari pasokan makanan yang biasa dikirimkan ke Gaza sejak perbatasan ditutup pada awal krisis. Ketika serangan terus meningkat dari hari ke hari, kini terdapat 2,2 juta orang yang sangat membutuhkan makanan.

“Sebelum terjadinya meletus perang Gaza-Israel, 104 truk mengirimkan makanan setiap hari ke Jalur Gaza, yaitu satu truk setiap 14 menit. Meski mengizinkan 62 truk bermuatan bantuan masuk ke Gaza selatan melalui penyeberangan Rafah, sejak akhir pekan lalu hanya 30 truk yang membawa persediaan makanan,” kata Oxfam.

Di Gaza, 600.000 pengungsi Palestina terus mencari perlindungan di mana pun mereka bisa, mulai dari sekolah dan rumah sakit yang dikelola PBB hingga ke jalan-jalan dan mobil. Kondisinya semakin memprihatinkan.

Misalnya Asiya Marzouq Abu Deeb (37 tahun). Dia terbaring di tanah bersama enam anaknya di luar sekolah PBB dekat kota Khan Yunis di Jalur Gaza selatan. “Anak-anak saya kelaparan, kehilangan berat badan karena kekurangan gizi. Kami hidup hanya dengan satu potong roti untuk seluruh keluarga. Seharusnya cukup untuk kita semua,” ujarnya, dikutip Al Jazeera.

Aisya mengaku terpaksa meninggalkan rumah pada dini hari, lantaran pesawat tempur Israel lalu lalang di langit Gaza. Kala itu, dia bersama keluarga hanya berlari keluar dan tanpa arah tujuan yang jelas.

“Kami tidak punya waktu untuk membawa pakaian atau apa pun. Saya membawa putri saya di antara lengan saya, kami minum air yang tercemar, dan putra saya yang masih kecil menderita infeksi dada karena polusi,” ucapnya.

The Times melaporkan, mengutip Kantor Koordinasi Urusan Bantuan PBB, 10 toko roti rusak akibat serangan udara pekan lalu. Tiga toko roti juga ditutup karena kekurangan bahan bakar, dan lainnya kemungkinan besar akan tutup.

“Sangat biadab melihat laboratorium dibom sementara warga sipil antri setiap hari untuk mendapatkan makanan bagi keluarga mereka. Mereka yang selamat dari pemboman mungkin malah mati kelaparan.,” kata Reham Jaafari, dari ActionAid Palestine.

Saat mengantri di toko roti Doha, Mahmoud Muhammad Zorob, ayah dari delapan anak, berjalan sekitar lima  mil untuk mencapai toko roti tersebut. Dia mengantri sejak pukul 05.00 pagi, namun pada akhirnya pemilik toko menginformasikan roti telah habis.

“Saat ini, ada anak-anak yang sekarat karena kelaparan, jadi saya memakan apa pun, apakah itu biskuit, lentil, atau apa pun,” katanya.

Hana Abu Sharkh (42 tahun), ibu dari enam anak, secara ajaib bisa selamat setelah rumahnya dibom. Meski begitu, dia harus menghadapi tantangan berat setelah selamat dari maut.

“Situasi di sini buruk dalam segala aspek. Ada banyak hari ketika Aku berpuasa dan tidak makan untuk memberi makan anak-anakku, karena toko roti kosong roti,” tuturnya.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here