Spirit of Aqsa- Sudah lima bulan sejak Ataf Abu Al-Jadayan, seorang warga dari Kamp Jabalia di utara Jalur Gaza, terpaksa meninggalkan rumahnya tanpa mengetahui nasib bangunan yang ia tinggalkan. 

Ataf, seorang ibu Palestina berusia 47 tahun, berharap bahwa rumahnya masih utuh dan tidak dihancurkan oleh pasukan pendudukan Israel. Ia berencana kembali ke rumahnya setelah perang usai untuk tinggal bersama suami dan tiga anaknya yang tunanetra, salah satu dari mereka juga menderita atrofi otak.

Pada hari keempat perang yang dimulai 7 Oktober 2023, Ataf melarikan diri dari rumahnya setelah kawasan tempat tinggalnya dibombardir oleh pasukan Israel. Ia dan keluarganya mengungsi ke pusat penampungan di Deir Al-Balah, Gaza tengah.

Berita Menghancurkan

Sejak hari itu, Ataf rutin menghubungi kerabat dan teman-temannya yang masih tinggal di utara Gaza untuk menanyakan keadaan rumahnya, namun tidak berhasil mendapatkan kabar yang jelas. Rumahnya berada di dekat area yang dikuasai pasukan pendudukan. Hingga akhirnya, pada bulan Maret, ia menerima kabar bahwa rumahnya telah hancur total—berita ini menghantamnya dengan sangat keras.

Kepada Al Jazeera, ia mengungkapkan, “Selama 27 tahun saya merawat tiga anak saya yang tunanetra tanpa mengeluh, namun hancurnya rumah saya adalah pukulan yang sangat berat. Saya tidak pernah merasa putus asa atau lelah, meskipun menderita, saya menemukan kebahagiaan dalam merawat anak-anak saya. Tapi kehancuran rumah itu benar-benar menghancurkan saya, ini adalah ujian terberat yang pernah saya alami.”

Meskipun anak-anaknya mengalami tunanetra, dua di antaranya berhasil meraih gelar sarjana dari Fakultas Sastra dalam bidang bahasa Inggris.

“Di rumah, saya hidup dengan martabat. Sekarang kami tinggal di tenda tanpa harga diri dan tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Setelah perang berakhir, saya tidak akan menemukan rumah yang dulu saya tinggali dengan penuh kebanggaan,” tambahnya.

Setelah perang usai, Ataf berencana kembali ke lokasi rumahnya dan mendirikan tenda di atas reruntuhannya. “Setidaknya saya akan kembali dengan harga diri di tanah saya sendiri,” katanya.

Sudah satu tahun sejak perang brutal yang dilancarkan Israel terhadap Gaza sejak 7 Oktober tahun lalu, yang telah menewaskan lebih dari 41 ribu orang dan melukai lebih dari 96 ribu lainnya, dengan 10 ribu orang masih hilang. 

Sejak pekan pertama perang, Israel telah mengusir ratusan ribu warga Palestina dari rumah mereka, terutama dari wilayah utara Gaza ke bagian selatan. Mereka kini hidup di tenda-tenda pengungsian dengan kondisi kehidupan yang sangat sulit.

Kerugian Sepanjang Usia

Sementara itu, Abu Muhammad Al-Khalidi meninggalkan rumahnya pada bulan pertama perang, mengingat lokasinya yang dekat dengan jalur Netzarim, yang memisahkan utara dan selatan Gaza. Saat ini, ia tinggal di tenda di pusat pengungsian di Deir Al-Balah.

Selama dua bulan, Abu Muhammad berusaha memastikan keadaan rumahnya yang berukuran sekitar 150 meter persegi dengan mengunjungi secara singkat dan hati-hati atau menghubungi tetangganya yang masih tinggal di dekat sana.

“Saya pergi untuk memastikan kondisi rumah melalui jalur samping dan membawa beberapa barang pribadi, tetapi saya berhenti karena terlalu berbahaya. Sekarang, saya hanya mengandalkan telepon untuk bertanya kepada kenalan,” katanya kepada Al Jazeera.

Namun, setelah dua bulan, kabar yang ditakutinya akhirnya datang: pasukan pendudukan Israel telah menghancurkan rumahnya sepenuhnya. Rumah itu baru ia beli tiga bulan sebelum perang dengan harga sekitar 70 ribu dolar, dan ia masih memiliki hutang 10 ribu dolar untuk rumah tersebut.

“Saya merasa sangat tertekan setiap kali memikirkan tentang rumah yang hancur, tetapi saya berusaha melupakannya agar bisa bertahan hidup. Hingga kini, saya masih dalam keadaan syok. Rumah itu adalah hasil kerja keras sepanjang hidup saya,” katanya.

Abu Muhammad berencana mendirikan tenda di atas reruntuhan rumahnya setelah perang usai, dengan harapan negara-negara sahabat Palestina akan segera membantu membangun kembali Gaza, atau setidaknya menyediakan tenda yang layak untuk ditempati.

Impian Kembali

Meskipun berisiko besar, hingga mengancam nyawanya karena tembakan drone Israel atau serangan tank, Adel Farajallah tetap bersikeras memeriksa kondisi rumahnya sesekali. “Terakhir kali saya mengunjungi rumah saya dua hari yang lalu, itu sangat berbahaya,” katanya kepada Al Jazeera.

Rumah Farajallah, yang terletak di selatan jalur Netzarim, mengalami kerusakan sebagian akibat serangan tank Israel. Namun, ia yakin rumah itu masih bisa direnovasi setelah perang berakhir.

Dalam kunjungan terakhirnya, ia bergerak dari Kamp Nuseirat menuju rumahnya di selatan Wadi Gaza, dengan terus mengawasi langit untuk menghindari drone Israel. Ia hanya tinggal di rumahnya selama lima menit sebelum kembali dengan cepat agar tidak terdeteksi.

Hampir setiap hari, ia menghubungi tetangga yang tinggal di sekolah-sekolah yang dikelola oleh Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) di dekat rumahnya untuk mendapatkan informasi terbaru tentang kondisi rumahnya.

Farajallah berharap bahwa suatu hari perang akan berakhir dan ia dapat kembali ke rumahnya, membersihkan serta memperbaiki kerusakan yang ada, dan melapisi jendela dengan plastik agar bisa tinggal di sana lagi.

Berbeda dengan Farajallah, Khalil Aita tidak mengalami kesulitan untuk memantau kondisi rumahnya yang terletak di utara Gaza. Ia mengungsi pada awal November, dan saat ini rumah tersebut ditempati oleh saudara perempuannya yang kehilangan rumah akibat perang.

“Rumah saya mengalami kerusakan sebagian akibat serangan tank, tetapi masih layak untuk ditinggali. Saya merasa tenang karena saudara saya tinggal di sana, itu melindungi rumah dari pencurian,” jelasnya.

Namun, Aita khawatir Israel tidak akan mengizinkannya dan ratusan ribu pengungsi lainnya untuk kembali ke wilayah utara Gaza, seperti yang terjadi pada Nakba 1948. “Saya sangat khawatir bahwa Nakba akan terulang dan kami tidak akan bisa kembali ke rumah-rumah kami. Ada rencana Israel untuk mengusir penduduk yang tersisa dan mengganti mereka dengan pemukim Yahudi di tanah kami,” tambahnya.

Pada 1948, milisi Zionis mengusir sebagian besar warga Arab Palestina dari rumah mereka melalui teror dan serangan, dan hingga kini mereka tidak pernah diizinkan kembali.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here