Spirit of Aqsa- Dua artikel di surat kabar Israel membahas secara kritis rencana Presiden AS Donald Trump untuk mengusir warga Palestina dari Jalur Gaza, dengan sudut pandang yang bertolak belakang.
Dalam artikelnya di majalah berita sayap kiri “+972”, penulis Meron Rapoport menyoroti ancaman langsung yang ditimbulkan oleh rencana tersebut terhadap stabilitas regional dan global. Sementara itu, dalam artikelnya di The Jerusalem Post, Dan Perry berpendapat bahwa usulan Trump mungkin berhasil mempersiapkan pihak-pihak di kawasan untuk mengambil langkah-langkah yang akhirnya mengarah pada migrasi sukarela penduduk Gaza.
Ancaman terhadap Stabilitas
Dalam artikelnya, Rapoport menegaskan bahwa kemungkinan lebih dari dua juta warga Palestina di Gaza setuju untuk meninggalkan wilayahnya saat ini hampir nol. Ia mengingatkan bahwa sebagian besar penduduk Gaza adalah pengungsi atau keturunan pengungsi Nakba 1948 yang telah bertahan di kamp-kamp pengungsi selama 75 tahun dan tidak meninggalkan tanah air mereka.
Ia juga menyebutkan bahwa kemungkinan negara-negara seperti Yordania atau Mesir menerima bahkan sejumlah kecil dari mereka juga sangat kecil. Menurutnya, langkah seperti itu dapat mengguncang stabilitas rezim di negara-negara tersebut.
Rapoport menilai bahwa gagasan Amerika Serikat untuk menguasai, mengelola, dan mengembangkan Gaza sangat tidak realistis. Namun, meskipun ide tersebut tidak berjalan, dampaknya tetap terasa dalam wacana politik Yahudi-Israel.
Tanpa Kejutan
Rapoport mencatat bahwa tidak mengejutkan jika para pemimpin sayap kanan ekstrem Israel segera menyambut baik usulan Trump, meskipun konsekuensinya bisa sangat berbahaya bagi kawasan secara keseluruhan.
Menurutnya, persepsi bahwa Israel telah mendapatkan peluang historis untuk mengosongkan Gaza dari penduduknya melalui rencana Trump dapat memberi dorongan besar bagi Menteri Keuangan Bezalel Smotrich dan mantan Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir. Keduanya mendesak Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk menggagalkan gencatan senjata sebelum mencapai tahap kedua, menduduki kembali Gaza, dan membangun kembali permukiman Yahudi di wilayah tersebut.
Majalah “+972” mengungkapkan bahwa Unit Koordinasi Kegiatan Pemerintah di Wilayah (COGAT)—lembaga di bawah Kementerian Pertahanan Israel—sudah mulai menyusun rencana untuk menerapkan ide Trump tanpa memerlukan kehadiran pasukan AS di lapangan.
Salah satu rencana tersebut, misalnya, jika Mesir menolak menggunakan perlintasan Rafah untuk memfasilitasi proses “pembersihan etnis” di Gaza, maka tentara Israel dapat membuka jalur alternatif “melalui laut atau darat, lalu mengangkut warga Palestina ke tujuan yang diinginkan melalui bandara.”
Trump dan Upaya Mengubur Isu Palestina
Rapoport memperingatkan bahwa rencana Trump tidak akan hilang dari politik Yahudi-Israel, bahkan jika gencatan senjata memasuki tahap kedua dan ketiga, semua tawanan dibebaskan, tentara Israel menarik diri dari Gaza, dan tercapai gencatan senjata permanen.
Begitu Israel mengadopsi gagasan Trump sebagai solusi untuk masalah Palestina, menurutnya, pesan yang disampaikan kepada rakyat Palestina menjadi jelas: tidak ada kemungkinan untuk mencapai penyelesaian dengan Israel dan sekutunya, Amerika Serikat, dalam bentuknya saat ini, karena keduanya “bertekad untuk melenyapkan rakyat Palestina.”
Hal ini akan membuat mustahil bagi pemimpin Palestina mana pun yang ingin mencapai kesepakatan dengan Israel untuk mempertahankan dukungan rakyatnya.
Namun, Rapoport menegaskan bahwa bahayanya tidak berhenti di situ. Dengan “ketidaktahuannya yang total tentang Timur Tengah,” Trump justru membagi-bagi isu Palestina, tidak melihatnya sebagai masalah antara Yahudi dan Palestina yang hidup di antara sungai dan laut, tetapi justru melemparkan tanggung jawabnya kepada negara-negara Arab di sekitarnya.
Trump, menurutnya, tidak hanya meminta Mesir, Yordania, dan negara-negara Arab lainnya untuk menerima ratusan ribu pengungsi Palestina di wilayah mereka, tetapi juga menuntut mereka untuk “mengubur isu Palestina.”
Pandangan Berbeda di Jerusalem Post
Di sisi lain, dalam The Jerusalem Post, Dan Perry mengklaim bahwa membagi “tanah suci” menjadi dua negara atau satu negara dengan hak setara tetap menjadi opsi yang masuk akal.
Menurut Perry, Trump terlihat “bingung” menghadapi realitas yang kompleks, dengan segala aspek psikologis dan sosialnya, ketika ia mengajukan rencana “berbahaya dan tidak dipikirkan matang-matang” untuk mengusir warga Gaza.
Meski ia mengakui bahwa rencana ini menghadapi tantangan besar, seperti penolakan dari negara-negara Arab dan keteguhan rakyat Palestina untuk bertahan di tanah mereka, ia meyakini bahwa rakyat Amerika tidak ingin terjebak dalam perang lain di Timur Tengah demi memenuhi “ilusi” Trump.
Namun, Perry berpendapat bahwa Trump mungkin telah berhasil mendorong para pihak untuk melakukan langkah-langkah yang perlu diambil.
Langkah pertama, menurutnya, adalah negara-negara Arab harus menekan Hamas agar mundur, sebagai syarat untuk menerima puluhan miliar dolar bantuan guna membangun kembali Gaza. Hal ini, katanya, memerlukan “negara-negara Arab moderat untuk berhenti terbuai dalam fantasi ekstremis Palestina.”
Langkah kedua adalah pembentukan pemerintahan sipil teknokrat di Gaza, yang memiliki hubungan dengan Otoritas Palestina di Tepi Barat, tetapi tetap berbeda dan dapat dipercaya. Pemerintahan ini harus bekerja sama dengan Mesir dan negara-negara Teluk dengan dukungan Barat untuk menciptakan administrasi yang stabil dan menawarkan jalur menuju kemerdekaan di masa depan.
Langkah ketiga adalah negara-negara Arab, dan mungkin juga Barat, harus mengirim pasukan keamanan ke Gaza untuk membantu otoritas baru.
Menurut Perry, diperlukan juga solusi bagi pemimpin Hamas dan kelompok bersenjata lainnya, yang ia sebut sebagai “pengasingan,” karena menurutnya, inilah “pemindahan penduduk yang seharusnya terjadi.”
Sumber: Media Israel, The Jerusalem Post