Di tengah bencana kelaparan dan terhentinya aliran bantuan kemanusiaan ke Gaza, seorang ayah bernama Faris Hassouneh setiap hari mempertaruhkan nyawa. Ia melangkah keluar saat fajar menyingsing, berjalan kaki sejauh beberapa kilometer menyusuri reruntuhan dan puing-puing perang, hanya demi satu hal: sebungkus tepung untuk anak-anaknya yang sudah lebih dari 40 hari tak mencicipi roti.

Faris, ayah dari enam anak, kini tinggal bersama keluarganya di sebuah tenda darurat di Kota Gaza. Rumah mereka luluh lantak digulung agresi militer. Berkali-kali ia mencoba mengantri bantuan, namun selalu gagal. “Tak ada lagi yang bisa kuberikan pada anak-anakku, kecuali keberanian untuk terus keluar setiap hari, meski dihantui ancaman bom dan peluru,” katanya dengan suara bergetar.

Namun pagi itu berbeda. Saat ia berhasil membawa pulang satu karung tepung, keluarga kecilnya menyambutnya seolah menyambut pahlawan pulang dari medan laga. Suara tepuk tangan dan takbir kecil-kecilan menggetarkan tenda. Faris meletakkan karung itu di tanah, lalu jatuh bersimpuh di atasnya, seolah memeluk hasil rampasan dari garis depan perang melawan kelaparan.

“Bukan gencatan senjata yang kami minta,” katanya lirih. “Bukan perundingan politik. Kami hanya ingin tepung dan air bisa lewat. Aku hanya ingin tidur malam ini tanpa mimpi buruk tentang anak-anakku yang menangis kelaparan.”

Cerita Faris bukan satu-satunya. Ia hanya satu dari ribuan suara luka yang membuncah di tengah reruntuhan Gaza. Menurut PBB, wilayah ini kini menghadapi salah satu fase kelaparan paling parah di dunia. Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan lonjakan drastis kasus malnutrisi, terutama pada anak-anak.

Laporan terbaru dari Jaringan Informasi Ketahanan Pangan Global (IPC) menyebutkan bahwa lebih dari separuh penduduk Gaza (sekitar 1,1 juta jiwa) hidup dalam kondisi kelaparan “katastrofik” (fase 5), tingkatan tertinggi dalam klasifikasi krisis pangan. Artinya, mereka bisa bertahan hidup selama berhari-hari tanpa makanan sama sekali.

UNRWA bahkan mengingatkan bahwa anak-anak di Gaza utara kini menunjukkan gejala kurus kering dan malnutrisi akut. Tak ada lagi rantai pasok pangan yang berjalan. Perang telah melumpuhkan seluruh sistem produksi lokal, membiarkan rakyat Palestina menghadapi kematian secara perlahan, dan sunyi.

Israel sempat mengumumkan gencatan senjata selama sepuluh jam pada Minggu, 27 Juli. Bersamaan itu, bantuan kemanusiaan dijatuhkan dari udara oleh Yordania dan Uni Emirat Arab.

Tapi bagi Faris, gencatan senjata itu hanya wacana jauh di langit. “Yang terjadi di tenda kami,” ujarnya, “adalah perjuangan sehari-hari demi sepotong roti.”

Sumber: Al Jazeera, Reuters

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here