Spirit of Aqsa- Ahli militer dan strategi, Kolonel Hatim Karim al-Falahi, menyatakan, keputusan tentara Israel untuk mengandalkan personel dari unit non-tempur disebabkan oleh kekurangan besar dalam kekuatan tempur.
Dalam analisisnya terhadap situasi militer di Gaza, al-Falahi menyebutkan, beralihnya tentara Israel ke unit 8200 atau unit intelijen atau keamanan siber yang menggunakan teknologi canggih menunjukkan bahwa mereka membutuhkan kekuatan tempur tambahan.
Al-Falahi menjelaskan, sejak 1992, tentara Israel mengurangi jumlah pasukan dan lebih mengandalkan teknologi canggih. Fokus mereka adalah pada kekuatan udara, perang siber, sistem pertahanan Iron Dome, dan pengembangan kekuatan angkatan laut.
Sejak 1973, tentara Israel tidak terlibat dalam perang konvensional. Konflik sebelumnya dengan Lebanon dan Gaza lebih merupakan perang udara dan serangan balasan, sehingga tidak ada pengurangan signifikan dalam jumlah pasukan tempur.
Karena kerugian yang diderita dalam perang di Gaza, tentara Israel kini mempertimbangkan kembali strateginya. Ada pembicaraan tentang pembentukan unit baru, memperpanjang masa dinas cadangan, dan merekrut kelompok Haredi (Yahudi ultra-Ortodoks). Mereka menyadari bahwa pertempuran di berbagai front memerlukan kekuatan militer yang besar, dan sumber daya yang ada tidak mencukupi.
Al-Falahi menggambarkan langkah-langkah yang diambil oleh tentara Israel saat ini sebagai tindakan tambal sulam yang tidak akan berdampak signifikan pada operasi militer di Gaza. Namun, hal ini akan mempengaruhi unit siber yang terbiasa bekerja dalam konteks tertentu. Akibatnya, akan ada kekurangan tenaga kerja di unit-unit ini, yang akan mempengaruhi kualitas informasi yang mereka hasilkan dalam waktu dekat.
Situs berita Israel, “Walla,” mengungkapkan, militer Israel mengalami kekurangan tentara dan berencana membentuk unit baru untuk menjalankan berbagai tugas. Unit ini akan diberi nama “Brigade David” dan akan mencakup tentara yang telah mencapai usia pensiun, sukarelawan, dan anggota Haredi. Dengan demikian, militer diharapkan dapat merekrut 40 ribu pejuang.
Dalam konteks yang sama, Mahkamah Agung Israel memutuskan, pemerintah harus merekrut siswa dari sekolah agama Yahudi ultra-Ortodoks (Haredi) ke dalam militer.
Pembebasan kelompok Haredi dari dinas militer menjadi semakin kontroversial karena tentara Israel sebagian besar terdiri dari tentara remaja dan sejumlah warga sipil yang lebih tua yang dipanggil untuk menjalani dinas militer cadangan. Selain itu, dinas militer ini sangat memberatkan karena konflik multi-front di Gaza dan Lebanon Selatan.