Blokade makanan dan kebutuhan pokok di Gaza bukanlah taktik baru yang lahir setelah 7 Oktober 2023. Sejak 2006, usai kemenangan Hamas dalam pemilu legislatif, Israel sudah menjadikan kelaparan sebagai senjata.
Dokumen yang terbuka pada 2008 bahkan mengungkap perhitungan kalori harian orang Gaza, serta pembatasan jumlah truk bantuan yang diizinkan masuk. Saat itu, seorang penasihat perdana menteri Israel, Dov Weissglass, terang-terangan berkata: “Kami menaruh orang Palestina dalam diet, tanpa membiarkan mereka mati kelaparan, tapi cukup untuk membuat mereka hidup dalam kekurangan.”
Sejarah memberi banyak contoh betapa kejamnya politik kelaparan: dari Holodomor di Ukraina (1932–1933) hingga pengepungan Leningrad (1941–1945). Sama seperti saat itu, di Gaza hari ini, lapar digunakan bukan sekadar untuk melemahkan tubuh, melainkan untuk menghancurkan tekad politik, mematahkan daya tahan, bahkan memaksa orang meninggalkan tanah airnya.
Kelaparan sebagai Politik Biologis
Michel Foucault menyebutnya biopolitics, cara kekuasaan mengendalikan kehidupan dengan mengatur fungsi tubuh manusia: lahir, sakit, makan, mati. Giorgio Agamben menambahkan, inilah bentuk kekuasaan yang mereduksi manusia hanya menjadi “daging biologis”, terlepas dari hak politik dan kemanusiaannya.
Di Gaza, tubuh orang-orang sengaja dibiarkan kekurangan gizi, otaknya dirusak oleh lapar, hingga ingatan, konsentrasi, dan kemampuan mengambil keputusan runtuh. Riset neurologi membuktikan, otak yang kekurangan glukosa kehilangan kemampuan berpikir jernih, tidak lagi mampu membayangkan masa depan, dipaksa hidup hanya untuk bertahan hari ini.
Eksperimen dan Sejarah yang Berulang
Eksperimen kelaparan Minnesota (1944–1945) memperlihatkan bagaimana manusia sehat yang sengaja dibuat lapar kehilangan daya pikir, semangat, dan arah hidup. Para tawanan Soviet di kamp Nazi pun dibiarkan hanya dengan 700 kalori sehari, membuat mereka mati massal dan kehilangan daya untuk melawan.
Hari ini, pola itu kembali terlihat di Gaza: membuat masyarakat tidak lagi mampu merencanakan perlawanan jangka panjang, hanya sibuk mencari sesuap makanan untuk bertahan.
Luka Lapar yang Menurun ke Generasi
Lebih dari itu, kelaparan meninggalkan luka genetik. Studi tentang “Musim Dingin Kelaparan” di Belanda (1944–1945) menunjukkan, anak-anak yang lahir dari rahim ibu kelaparan membawa “bekas luka biologis” sepanjang hidup, lebih rentan sakit, depresi, dan kehilangan keseimbangan mental. Bayangkan, generasi Gaza kini tengah diwarisi bukan hanya trauma perang, tapi juga luka lapar yang membekas hingga ke DNA mereka.
Lebih dari Sekadar Taktik Perang
Semua bukti ini menegaskan: kelaparan di Gaza bukan kebetulan, bukan dampak sampingan. Ia strategi sistematis, dirancang secara biologis dan psikologis untuk menghancurkan semangat perlawanan Palestina.
Namun sejarah juga mengajarkan: betapa pun brutal, kebijakan semacam ini tidak pernah benar-benar berhasil. Rakyat Palestina, meski dipaksa menelan racun lapar, tetap menggenggam teguh haknya untuk hidup, untuk bertahan, dan untuk merdeka.