Channel 12 Israel melaporkan bahwa Kepala Staf Militer Israel, Eyal Zamir, menyampaikan kepada jajaran politik bahwa Hamas tidak akan pernah bisa dikalahkan (baik secara militer maupun politik) bahkan jika Kota Gaza berhasil diduduki.
Pernyataan ini muncul dalam pertemuan keamanan yang dipimpin Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, membahas perang di Gaza dan isu tawanan, menjelang dimulainya operasi darat besar-besaran.
Menurut Channel 12, Zamir menegaskan dirinya berkomitmen pada tujuan perang, namun realistis menyatakan: pendudukan Gaza tidak akan membawa kemenangan mutlak. Militer bahkan memperkirakan proses merebut Gaza akan memakan waktu enam bulan, sementara “pembersihan total” jauh lebih lama.
Netanyahu juga membahas skenario balasan jika Hamas mengeksekusi tawanan selama operasi darat berlangsung, meski militer terus menggempur Gaza dan meratakan seluruh kawasan perumahan, dengan risiko nyata membahayakan para tawanan itu sendiri.
Dalam pertemuan tertutup, Zamir menambahkan: operasi darat tidak akan menuntaskan masalah. Untuk mencapai “kemenangan penuh”, Israel harus memperluas serangan ke seluruh wilayah, termasuk kamp-kamp pengungsi. Tetapi langkah itu justru membuka risiko bencana sipil yang berat, beban yang bahkan tidak ingin ditanggung oleh militer Israel sendiri.
Sementara itu, Netanyahu tetap menekan agar operasi besar ini segera dimulai sesuai jadwal. Pada Agustus lalu, pemerintah Israel sudah menyetujui rencana Netanyahu untuk secara bertahap menduduki ulang Jalur Gaza, dimulai dari Kota Gaza.
Secara resmi, pada 3 September, militer Israel meluncurkan agresi bernama “Arabot Gideon 2” (operasi pendudukan penuh atas Kota Gaza) yang memicu gelombang kritik di dalam Israel, terutama karena risiko besar bagi para tawanan dan tentara.
Namun di balik semua itu, satu kenyataan tak terbantahkan: Israel, dengan dukungan penuh Amerika Serikat, sejak 7 Oktober 2023 telah melancarkan genosida sistematis di Gaza. Serangan brutal ini telah menewaskan 64.871 warga Palestina, melukai 164.610 orang (sebagian besar perempuan dan anak-anak) memaksa ratusan ribu menjadi pengungsi, dan menjerumuskan warga ke jurang kelaparan yang sudah merenggut nyawa 422 orang, termasuk 145 anak-anak.
Kenyataan ini menelanjangi propaganda Tel Aviv sendiri: bahkan jenderal mereka mengakui, pendudukan bukanlah kemenangan, melainkan jalan buntu berdarah yang hanya memperdalam penderitaan rakyat Palestina.
Sumber: Al Jazeera, Anadolu