Spirit of Aqsa- Khaldiya Al-Ghafari menyiapkan kayu bakar, bukan untuk memasak makanan, tetapi untuk merebus dan mensterilkan air yang akan dibawa oleh suaminya, Ahmad. Warga yang tinggal di Hayy Al-Rimal, sebelah barat Kota Gaza ini, harus menjalani rutinitas harian yang melelahkan ini setelah anak-anaknya (4 dan 6 tahun) mengalami infeksi usus berulang kali akibat air yang terkontaminasi.
Dia terpaksa merebus air, mendinginkan, lalu mengemasnya dalam botol plastik bukan tugas yang mudah. Terutama dengan kelangkaan gas memasak yang memaksa Khaldiya bergantung pada kayu bakar.
“Air berubah sejak perang, kadang-kadang keruh, ada kotoran, berwarna, dan berbau. Kami meminumnya dengan perasaan takut,” ujarnya, dikutip Al-Jazeera, Sabtu (6/7/2024).
Di saat yang sama, suaminya Ahmad memulai perjuangan harian untuk mendapatkan air minum bagi keluarganya. Dia mengandalkan pendengarannya untuk membeli air, mengikuti suara truk penjual air yang mengeluarkan lagu khas untuk menarik perhatian warga, dengan membawa dua drum kosong. Sesampainya di lokasi, Ahmad segera mengambil antrian panjang di depan truk air.
Ahmad menjelaskan, kelangkaan bahan bakar yang dicegah Israel sejak awal perang, serta kenaikan harganya, menyebabkan truk air jarang beroperasi sehingga warga harus berjalan jauh untuk mendapatkannya.
Pada hari-hari ketika truk tidak datang, Ahmad menuju pusat-pusat penampungan air, berharap menemukan air yang bisa dibeli. Kelangkaan air dan tingginya harga bahan bakar membuat harga air melonjak, dari sebelumnya 1 shekel menjadi 4 shekel untuk 17 liter.
Sejak awal pembantaian pada Oktober 2023, Israel telah memutus pasokan air ke Gaza dan menargetkan infrastruktur air dan sanitasi dengan serangan. Pemadaman listrik dan blokade bahan bakar menyebabkan sebagian besar instalasi penyulingan air beroperasi secara parsial, mengakibatkan kekurangan air minum yang parah dan menurunnya kualitasnya.
Krisis air di Gaza bukan hal baru, tapi sudah berlangsung selama beberapa dekade. Warga menggunakan air sumur yang disediakan pemerintah kota untuk keperluan bersih-bersih karena airnya asin dan terkontaminasi, sementara untuk air minum, mereka membelinya dari perusahaan penyulingan swasta. Selama perang, kualitas air dari perusahaan penyulingan pun memburuk, dengan rasa yang tidak enak, asin, dan tercampur kotoran.
Ahmad menceritakan, seorang distributor air mengaku bahwa instalasi penyulingan air tempat membeli tidak memiliki cukup filter baru, karena blokade Israel. Tangki air di truk tidak dibersihkan karena kurang bahan pembersih.
Alaa Hamid, yang tinggal di pusat penampungan di barat Gaza, hanya bisa mensterilkan air dalam jumlah kecil untuk anak-anak. “Kami tidak bisa merebus air untuk semua orang, hanya untuk anak-anak saja,” katanya.
Penduduk Gaza Utara mengalami kesulitan mendapatkan air minum yang layak. Amina Al-Hirtani, warga Kota Tua Gaza, mengatakan bahwa mereka harus mengejar truk air dari jalan ke jalan dan air yang didapat pun kotor, harus disaring dengan kain.
“Masalah air adalah krisis terbesar yang dihadapi warga Gaza Utara,” katanya, seraya mengajak dermawan untuk mendirikan instalasi penyulingan air di daerah itu.
Nail Al-Susi, yang sebelumnya bebas berkeliling dengan truk airnya, kini hanya bisa bergerak terbatas karena kelangkaan bahan bakar, mencampur solar dengan minyak goreng untuk mengoperasikan truknya.
“Saya bergerak dengan sangat hati-hati karena harga solar yang tinggi, mencoba memenuhi kebutuhan warga,” ujarnya. Meskipun kualitas air minum dipertanyakan oleh warga, Al-Susi mengatakan bahwa penyulingan tempat dia membeli air menyaringnya dengan baik.
Dokter Khamees Al-Issi memperingatkan bahwa air yang terkontaminasi di Gaza adalah tantangan serius. Lebih dari 97% air di Gaza tidak layak untuk dikonsumsi karena tingginya kadar garam dan polutan berbahaya.
Konsumsi air yang terkontaminasi dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan, seperti infeksi usus, hepatitis, penyakit ginjal, tifus, kolera, dan disentri, terutama pada anak-anak dan lansia. Al-Issi menegaskan bahwa situasi air di Gaza Utara tidak terlepas dari “perang pemusnahan” yang dilancarkan Israel, mengingatkan bahwa warga yang selamat dari serangan militer di Gaza Utara kini dihadapkan pada ancaman kematian akibat air yang terkontaminasi.