Spirit of Aqsa- Israel menyambut pembicaraan Washington dengan Hamas dengan kekhawatiran besar, yang menimbulkan pertanyaan mengenai alasan di balik kecemasan tersebut, terutama mengingat hubungan erat antara Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Presiden AS Donald Trump.

Pakar urusan Israel, Muhannad Mustafa, menjelaskan bahwa kekhawatiran Israel disebabkan oleh dua alasan utama. Pertama, pembicaraan ini dilakukan secara langsung tanpa perantara, yang berpotensi memberikan Hamas legitimasi politik.

Dalam pernyataannya kepada program Masar Al-Ahdath, Mustafa menambahkan bahwa pembicaraan ini juga dapat menjadi jalur alternatif dalam negosiasi, sedangkan Israel tidak menginginkan gencatan senjata jangka panjang. Sebaliknya, Israel hanya ingin memperpanjang tahap pertama kesepakatan yang mencakup pembebasan beberapa tahanan dan jenazah sandera.

Selain itu, perundingan ini bertentangan dengan visi politik Israel mengenai masa depan kesepakatan Gaza. Israel menginginkan gencatan senjata yang dibatasi waktu agar dapat melanjutkan perang atau memasuki tahap kedua dengan ketentuan yang mereka tentukan sendiri.

Informasi ini muncul setelah situs berita AS Axios melaporkan bahwa ada pembicaraan langsung yang belum pernah terjadi sebelumnya antara Washington dan Hamas di Qatar. Pembicaraan tersebut bertujuan untuk membahas pembebasan sandera Amerika di Gaza serta merundingkan kesepakatan yang lebih luas untuk mengakhiri perang dan mencapai gencatan senjata jangka panjang.

Menurut laporan, utusan AS untuk urusan sandera, Adam Boler, ikut serta dalam pembicaraan yang berlangsung dalam beberapa pekan terakhir, meskipun hingga saat ini belum ada kesepakatan yang dicapai.

Sementara itu, kanal 14 Israel mengutip sumber yang menyatakan bahwa pembicaraan pemerintahan Trump dengan Hamas tidak mengubah posisi Hamas terkait perang.

Negosiasi dengan Hamas dan Reaksi Palestina

Wakil Ketua Dewan Legislatif Palestina, Hasan Khreisha, menganggap negosiasi antara pemerintah AS dengan perlawanan Palestina, khususnya Hamas, sebagai sesuatu yang wajar. Menurutnya, “pihak yang mampu menciptakan realitas di lapangan berhak memaksa pihak lain untuk berbicara dengannya.”

Khreisha menegaskan bahwa rakyat Palestina sedang menghadapi pertempuran eksistensial dan tidak memiliki ruang untuk kemewahan politik atau perselisihan internal. Ia juga menekankan bahwa ada sikap Palestina yang jelas bahwa masa depan Gaza harus ditentukan bersama dengan Tepi Barat dan Yerusalem.

Penolakan Israel dan AS terhadap Rencana Perdamaian Arab

Terkait dengan penolakan Israel dan AS terhadap rencana perdamaian Arab, peneliti senior di Al Jazeera Centre for Studies, Liqaa Makki, menyatakan bahwa inisiatif Arab yang dipimpin Mesir dan Yordania sangat penting untuk mengukuhkan hak-hak rakyat Palestina dan mengembalikan legitimasi internasional ke meja perundingan.

Makki menilai bahwa rencana perdamaian Arab merupakan alternatif dari rencana Trump, sehingga tidak mengherankan jika Israel menolaknya. Ia menambahkan bahwa Mesir dan Yordania membutuhkan dukungan dunia Arab untuk menolak gagasan pemindahan paksa warga Palestina.

Menurut Makki, rencana Trump sebenarnya sulit diwujudkan, tetapi belum bisa dipastikan apakah Trump telah benar-benar meninggalkannya atau masih berpegang teguh pada rencana tersebut.

Ia menekankan bahwa Trump adalah sosok yang tidak bisa diprediksi, karena ia melihat segala sesuatu dari sudut kepentingan AS. “Jika biaya implementasi rencana lebih besar daripada manfaatnya, maka rencana itu bisa saja ditinggalkan,” katanya.

Sementara itu, juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS, Brian Hughes, menilai bahwa rencana perdamaian Arab untuk membangun kembali Gaza “mengabaikan kenyataan bahwa wilayah tersebut telah hancur” dan tidak mempertimbangkan fakta bahwa “Gaza saat ini tidak layak huni.”

Menurut Hughes, rencana tersebut juga tidak memperhitungkan bahwa warga Gaza tidak dapat hidup layak di tengah reruntuhan dan sisa-sisa amunisi yang belum meledak. Ia menegaskan bahwa Trump tetap teguh pada visinya untuk membangun kembali Gaza tanpa kehadiran Hamas.

Minimnya Tekanan dari Negara-Negara Arab

Makki menilai bahwa negara-negara Arab bertanggung jawab atas kurangnya tekanan terhadap AS. Ia mempertanyakan sejauh mana ada kemauan politik di dunia Arab untuk menetapkan fakta-fakta tertentu yang dapat menentukan masa depan kawasan.

Salah satu opsi yang tersedia bagi negara-negara Arab, menurut Makki, adalah menyambut Hamas di ibu kota Arab sebagai langkah untuk menantang Netanyahu dan menekan Israel. Ini bisa menjadi respons terhadap kebijakan ekspansionis Israel yang mencakup operasi militer di wilayah musuh seperti Suriah, Lebanon, dan Tepi Barat, yang bahkan bisa meluas ke Yordania.

Ia menyimpulkan bahwa Netanyahu merasa dirinya sebagai pemenang dan mendapat dukungan penuh dari Trump. “Ia tidak akan mundur kecuali jika ada biaya besar yang harus dibayar atas kebijakan yang ia jalankan. Jika tidak, dunia Arab hanya akan terus menanggung konsekuensinya,” tambahnya.

Sementara itu, Hasan Khreisha menganggap penolakan Israel dan AS terhadap rencana perdamaian Arab sebagai bentuk penghinaan, meskipun hasil KTT Kairo tidak lebih dari sekadar pengulangan pernyataan Arab dan Islam sebelumnya.

Wakil Ketua Dewan Legislatif Palestina itu menyerukan negara-negara Arab untuk mengancam penghentian normalisasi dengan Israel serta menggunakan berbagai instrumen kekuatan, terutama ekonomi, dengan memboikot produk Israel dan memberlakukan sanksi terhadap Tel Aviv.

Penolakan Israel terhadap Rencana Arab

Dalam pernyataan resmi, Kementerian Luar Negeri Israel menggambarkan rencana perdamaian Arab sebagai “terjebak dalam pandangan usang” dan menolak ketergantungan pada Otoritas Palestina serta keberlanjutan kekuasaan Hamas di Gaza.

Pakar urusan Israel, Muhannad Mustafa, mengidentifikasi tiga alasan utama di balik penolakan Israel terhadap rencana perdamaian Arab:

  1. Israel memandang dirinya sebagai kekuatan utama di Timur Tengah dan menolak adanya rencana Arab yang membahas masa depan Gaza tanpa melibatkannya.
  2. Rencana tersebut tidak mencakup pelucutan senjata kelompok perlawanan Palestina.
  3. Israel tidak ingin Otoritas Palestina kembali ke Gaza dan menolak upaya untuk menyatukan kembali Gaza dengan Tepi Barat secara politik.

Mustafa menyimpulkan bahwa Netanyahu merasa dirinya sebagai pemenang, terutama karena ia yakin bahwa setiap ekspansi Israel tidak akan mendapat perlawanan internal selama tidak ada harga yang harus dibayar untuk itu.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here