Indonesiainside.id- Ismail Haniyah, Ketua Biro Politik Hamas, yang syahid dalam serangan udara Israel di Teheran, Iran dikenal sebagai wajah terkemuka dalam diplomasi internasional gerakan Palestina ini. Saat perang di Gaza semakin memanas, tiga anaknya juga syahid dalam serangan udara Israel.
Sejak menjabat sebagai Ketua Biro Politik Hamas pada 2017, Haniyah sering bepergian antara Turki dan Doha, Qatar, untuk menghindari pembatasan perjalanan yang dikenakan pada Jalur Gaza. Ini memungkinkannya berpartisipasi dalam negosiasi gencatan senjata tidak langsung antara Hamas dan Israel yang dimediasi oleh Amerika Serikat, Qatar, dan Mesir.
Dalam sebuah wawancara setelah operasi Taufan Al-Aqsa yang dilancarkan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023, Haniyah menyatakan, “Kami katakan kepada semua negara, termasuk saudara-saudara Arab. Entitas ini tidak bisa melindungi dirinya sendiri dari para pejuang ini, tidak bisa memberikan keamanan dan perlindungan bagi kalian. Semua normalisasi dan pengakuan terhadap entitas ini tidak akan menyelesaikan konflik ini,” katanya, dikutip Aljazeera, Rabu (31/7/2024).
Syahidnya 3 Anak Haniyah dalam Serangan Udara
Pada 10 April, Hamas mengumumkan, tiga anak Haniyah yakni Hazim, Amir, dan Muhammad syahid dalam serangan udara Israel yang menghantam mobil mereka. Hamas juga menyebut Haniyah kehilangan empat cucu, tiga perempuan dan satu laki-laki, dalam serangan tersebut.
Haniyah menolak klaim Israel bahwa anak-anaknya bertempur dalam barisan Hamas. “Kepentingan rakyat Palestina adalah yang utama, dan anak-anak kami adalah bagian dari rakyat ini,” ujarnya saat ditanya apakah kematian anak-anak dan cucunya akan mempengaruhi pembicaraan gencatan senjata.
Meskipun menggunakan bahasa yang keras dalam pernyataannya, para diplomat dan pejabat Arab menganggap Haniyah sebagai sosok yang relatif pragmatis.
Haniyah memperingatkan tentara Israel bahwa mereka akan “tenggelam di pasir Gaza,” tetapi ia dan pendahulunya, Khalid Mishaal, melakukan kunjungan maraton di kawasan ini untuk membahas perjanjian dengan Israel yang mencakup gencatan senjata dan pembebasan tahanan dengan imbalan pembebasan warga Palestina yang ditahan di penjara Israel, serta masuknya bantuan lebih banyak ke Gaza.
Israel menganggap semua pemimpin Hamas sebagai “teroris” dan menuduh Haniyah, Mishaal, dan lainnya terus “mengendalikan Hamas.”
Namun, belum jelas sejauh mana Haniyah mengetahui tentang serangan 7 Oktober sebelum terjadi. Rencana tersebut disusun oleh sayap militer Hamas, Brigade Izz al-Din al-Qassam, di Gaza dan sangat rahasia sehingga beberapa pejabat Hamas tampak terkejut dengan waktu dan skala serangan itu.
Meskipun demikian, Haniyah berperan aktif dalam membangun kemampuan tempur Hamas, termasuk memperkuat hubungan dengan Iran yang secara terbuka mendukung gerakan tersebut.
Diplomasi
Setelah meninggalkan Gaza pada 2017, Haniyah digantikan oleh Yahya Sinwar yang telah menghabiskan lebih dari dua dekade di penjara Israel dan disambut kembali oleh Haniyah di Gaza pada 2011 setelah pertukaran tahanan.
Pakar urusan Palestina di Universitas Qatar, Adeeb Ziyada, mengatakan, “Haniyah memimpin pertempuran politik Hamas dengan pemerintah Arab,” menambahkan bahwa Haniyah memiliki hubungan dekat dengan tokoh-tokoh terkemuka dalam gerakan tersebut dan sayap militernya. “Ia adalah wajah politik dan diplomatik Hamas,” lanjutnya.
Haniyah dan Mishaal bertemu dengan pejabat di Mesir, yang juga memediasi pembicaraan gencatan senjata. Media resmi Iran melaporkan bahwa Haniyah melakukan perjalanan ke Teheran pada awal November 2023 untuk bertemu dengan Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei.
Tiga pejabat senior mengatakan kepada Reuters, Khamenei memberi tahu Haniyah dalam pertemuan itu bahwa Iran tidak akan terlibat dalam perang karena tidak mengetahuinya sebelumnya. Hamas tidak menanggapi permintaan komentar sebelum Reuters menerbitkan laporan tersebut, kemudian mengeluarkan bantahan setelah laporan itu diterbitkan.
Saat masih muda, Haniyah adalah seorang aktivis mahasiswa di Universitas Islam di Gaza. Ia bergabung dengan Hamas ketika didirikan selama intifada Palestina pertama pada 1987. Haniyah sempat ditangkap dan diasingkan untuk waktu singkat.
Haniyah menjadi salah satu murid Sheikh Ahmed Yassin, pendiri Hamas, yang juga merupakan pengungsi seperti keluarga Haniyeh dari desa Jura dekat Ashkelon. Pada 1994, Haniyah mengatakan kepada Reuters, Sheikh Yassin adalah panutan bagi pemuda Palestina dan bahwa ia belajar dari Yassin tentang cinta terhadap Islam, pengorbanan, dan ketidakpatuhan kepada tiran dan penguasa otoriter.
Pada 2003, Haniyah menjadi salah satu asisten tepercaya Yassin, dan ia difoto di rumah Sheikh di Gaza sambil memegang telepon di dekat telinga pendiri Hamas yang lumpuh, agar Yassin bisa berpartisipasi dalam percakapan. Israel membunuh Yassin pada 2004.
Haniyah adalah salah satu pendukung awal keterlibatan Hamas dalam politik. Pada 1994, ia mengatakan bahwa membentuk partai politik akan memungkinkan Hamas untuk menghadapi perkembangan baru.
Para pemimpin Hamas awalnya menolak terjun ke politik, tetapi kemudian setuju dan Haniyeh menjadi Perdana Menteri setelah Hamas memenangkan pemilihan parlemen Palestina pada 2006, setahun setelah penarikan tentara Israel dari Gaza. Hamas menguasai Gaza pada 2007.
Ketika ditanya oleh wartawan Reuters pada 2012 apakah Hamas telah meninggalkan perjuangan bersenjata, Haniyeh dengan tegas menolak dan mengatakan bahwa perlawanan akan terus berlanjut dalam semua bentuknya: rakyat, politik, diplomatik, dan militer.