Ketika buldoser Israel datang menghancurkan rumah demi rumah, warga Khillet ad-Dab’ tidak lari. Mereka tetap berdiri di atas puing-puing, memeluk tanah yang telah diwarisi dari generasi ke generasi. Komunitas kecil di ujung selatan Tepi Barat ini, dengan 115 jiwa dari 16 keluarga, menolak tunduk pada proyek penghapusan yang kini menjadi wajah lain dari penjajahan.

Pada 5 Mei lalu, tentara penjajah menggempur desa ini, meratakan 25 bangunan termasuk gua tempat tinggal dan sumur air—upaya kedua dalam dua bulan. Namun warga tidak pergi. Mereka bertahan, bahkan ketika pemukim menyerbu dan merampas salah satu gua milik Abdullah Dababseh, mendirikannya jadi pos ilegal baru, dan memukul mundur pemilik sahnya.

Ironisnya, alih-alih mengusir para pemukim, tentara Israel justru menangkap Abdullah.

Warga Khillet ad-Dab’ melawan. Mereka menggugat ke pengadilan dan menyuarakan penderitaan mereka ke dunia. Keputusan pengadilan akhirnya keluar: pemukim harus diusir. Tapi kemenangan itu tak sepenuhnya manis. Sebab begitu para pemukim ditarik, tentara menetapkan desa mereka sebagai “zona militer tertutup”. Jurnalis dan relawan asing diusir. Akses ditutup total.

Sementara dunia mencoba melihat dengan mata kepala sendiri, mereka diadang di pintu gerbang. Delegasi dari 15 media dan organisasi internasional dilarang masuk, bahkan berjalan kaki pun tak diizinkan. Sementara itu, pemukim tetap bebas keluar masuk di pos-pos baru mereka, berkumpul tanpa diketahui niatnya.

Meski sebagian warga terpaksa menjual ternaknya karena dibatasi akses ke ladang, tak satu pun dari mereka memilih hengkang. Mereka memilih tinggal, meski tinggal di atas puing dan ketidakpastian. Sebab mereka tahu, pergi berarti kalah. Pergi berarti menyerahkan tanah mereka selamanya.

Kini, Khillet ad-Dab’ adalah simbol dari perlawanan tak bersenjata yang paling jujur: bertahan. Dan dalam bertahan itulah, mereka mengukir kemenangan kecil—yang meskipun rapuh, telah mengguncang peta penjajahan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here