Larangan Israel terhadap masuknya semen dan berbagai material konstruksi ke Jalur Gaza memaksa warga mencari jalan bertahan di tengah keterbatasan. Dari situ, dua insinyur asal Gaza mengembangkan inovasi batu bangunan modular yang dapat dirakit layaknya kepingan permainan Lego, praktis, cepat, dan relatif hemat bahan.
Kepada Al Jazeera Mubasher, insinyur Sulaiman Abu Hasnin dan Akram Joudeh menuturkan bahwa pengembangan batu bangunan ini berangkat dari kebutuhan paling mendesak: menyediakan tempat berlindung sementara bagi para pengungsi yang kehilangan rumah akibat agresi dan pembatasan ketat material.
Sulaiman menjelaskan, batu-batu tersebut dirancang ramah lingkungan dan sejalan dengan tren global pembangunan berkelanjutan. Model serupa, kata dia, telah mulai digunakan di sejumlah negara, termasuk beberapa negara Arab, sebagai bagian dari pergeseran menuju bangunan hijau yang lebih efisien dan berkelanjutan.
Di tengah perang dan blokade, tantangan tak berhenti pada bahan. Kedua insinyur itu juga berhasil merakit mesin pembuat batu secara lokal, dengan standar produksi yang disesuaikan dengan spesifikasi global, sebuah capaian yang lahir dari keterpaksaan sekaligus ketekunan.
Sementara itu, Akram menambahkan, desain lubang dan rongga pada batu berfungsi menciptakan sirkulasi udara yang membantu isolasi panas. Struktur tersebut juga memungkinkan pemasangan instalasi listrik dan air langsung saat proses pembangunan, sehingga dinding tidak perlu dibongkar ulang setelah berdiri.
Inovasi ini tidak sekadar menjawab kelangkaan semen. Ia menjadi cermin daya hidup warga Gaza, bahwa di tengah pengepungan dan kehancuran, kreativitas terus mencari celah untuk mempertahankan martabat dan hak paling dasar: tempat berlindung.
Sumber: Al Jazeera










