Gambar dan rekaman video yang menunjukkan pasukan pendudukan Israel menangkap sejumlah anggota Brigade Izzuddin al-Qassam, sayap militer Hamas, di terowongan Rafah, memicu gelombang kemarahan dan simpati luas di berbagai platform media sosial. Para pejuang itu telah terjebak berbulan-bulan di bawah tanah, di tengah kepungan dan serangan yang tak kunjung berhenti.

Dalam pernyataannya, Hamas menegaskan bahwa tindakan tersebut merupakan “kejahatan brutal” dan pelanggaran terang-terangan terhadap kesepakatan gencatan senjata di Gaza. Serangan, pengejaran, dan penangkapan para pejuang yang terperangkap di terowongan Rafah, menurut Hamas, menjadi bukti bahwa upaya merusak kesepakatan masih berlangsung secara sistematis.

Gerakan itu juga menyampaikan bahwa sepanjang bulan lalu, mereka telah mengupayakan berbagai langkah bersama para pemimpin politik dan mediator internasional untuk memastikan keselamatan dan kepulangan para pejuang. Berbagai gagasan dan mekanisme penyelesaian telah diajukan, namun situasi kian memburuk.

Di media sosial, tagar “رجال رفح” (Para Pejuang Rafah) dan “مقاتلو رفح” (Petarung Rafah) melesat menjadi sorotan. Warganet memberikan dukungan dan penghormatan kepada para pejuang yang bertahan selama 365 hari di bawah tanah, setahun penuh dalam kondisi pengepungan, bombardemen, dan kelaparan, tanpa tempat berlindung maupun suplai memadai.

Mereka berdiri teguh menghadapi pasukan pendudukan, menjaga tanah dan kehormatan, dan menuliskan (meminjam istilah warganet) “epos keberanian dan martabat dengan darah mereka sendiri.”

Banyak yang menyebut gambar-gambar tersebut sebagai potret paling menyakitkan dalam perang kali ini. Mereka menegaskan bahwa para pejuang terbaik jatuh sebagai syahid, tertawan, atau terluka dalam keadaan terdesak, haus, dan lapar. Luka para pemuda yang bertahan di terowongan Rafah, kata mereka, adalah luka paling pedih dalam seluruh episode perang ini.

Aktivis juga membagikan kisah-kisah kemanusiaan dari balik terowongan. “Rafah bukan sekadar kota,” tulis salah seorang di X, “ia adalah terowongan yang dipanggul oleh para lelaki terbaik, yang memegang amanah perjuangan, melangkah tanpa pamrih demi kebenaran dan tanah air. Mereka berdiri menghadapi kekuatan paling bengis, hanya bersandarkan iman dan apa pun yang mampu mereka rakit dengan tangan mereka.”

Sebagian lain mengecam sikap dunia internasional yang dinilai membisu. Mereka mengatakan seolah para pejuang Rafah tidak dianggap manusia; seolah gencatan senjata tak lebih dari tinta di atas kertas.

Berbagai kesaksian menyingkap bahwa para pejuang itu hidup tujuh bulan penuh dalam isolasi total—minim makanan, air, dan kebutuhan dasar yang sekadar mampu membuat seseorang tetap hidup. Ketika makanan dan air mulai habis, dan dingin serta kesepian menekan hari demi hari, mereka tetap bertahan demi keyakinan yang mereka jaga.

Sementara itu, beberapa di antara mereka yang terpaksa keluar dari terowongan justru menghadapi ancaman penangkapan.

Gelombang pertanyaan pun menyeruak: apakah para pejuang Rafah pantas dibiarkan menghadapi nasib tak menentu setelah keteguhan yang mereka tunjukkan? Banyak yang menilai bahwa diamnya komunitas internasional adalah noda moral. Mereka mengingatkan bahwa para pejuang yang bertahan demi rakyatnya kini hidup dalam bayang-bayang lapar, takut, dan mesin militer yang tak mengenal belas kasihan.

Para aktivis menutup seruan mereka dengan pesan bahwa apa yang terjadi di terowongan Rafah bukan sekadar kisah para pejuang, melainkan potret sebuah rakyat yang terkepung—rakyat yang terus berjuang mempertahankan martabatnya, membayar harga yang teramat mahal, sementara dunia masih sibuk memutuskan apakah mereka layak didengar.

Sumber: Media sosial

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here