PALESTINA —Seorang mantan penasihat hukum badan intelijen dalam negeri Israel (Shin Bet) memperingatkan bahwa penghentian perang di Gaza akibat tekanan Amerika Serikat telah mengguncang seluruh rencana politik sayap kanan ekstrem Israel, dan berpotensi memicu ledakan kekerasan dari dalam negeri sendiri, bahkan dalam bentuk “terorisme Yahudi” berskala luas.

Dalam tulisannya di harian Yedioth Ahronoth, Eli Bashar, mantan penasihat hukum Shin Bet, menyerukan kepada seluruh aparat keamanan Israel agar memandang eskalasi aktivitas politik kelompok sayap kanan sebagai peringatan dini akan potensi kekerasan internal.

Menurutnya, tekanan Washington yang mendorong penghentian perang di Gaza telah menggugurkan impian kelompok ekstrem Israel untuk mengusir warga Palestina dari Jalur Gaza ke negara lain, ide yang selama ini menjadi obsesi kalangan nasionalis garis keras sejak awal agresi.

Bashar menambahkan, rencana perdamaian Presiden AS Donald Trump yang menghidupkan kembali peran Otoritas Palestina dalam mengelola Gaza setelah reformasi, sekaligus mengakhiri kebijakan pemisahan antara Gaza dan Tepi Barat yang dipegang pemerintahan Israel selama ini.

Runtuhnya Agenda Sayap Kanan

Rencana tersebut, jelas Bashar, mendorong Israel dan Palestina untuk kembali ke meja politik dan mengakui aspirasi rakyat Palestina menuju negara merdeka. Trump, kata Bashar, juga menolak tegas wacana aneksasi Israel atas Tepi Barat, menegaskan bahwa “tidak akan ada lagi perluasan wilayah.”

Perubahan arah diplomasi ini, menurutnya, menghancurkan seluruh agenda politik sayap kanan ekstrem yang diwakili para menteri seperti Bezalel Smotrich dan Itamar Ben-Gvir.

“Proyek mereka bertumpu pada gagasan mengusir warga Palestina dan menggantinya dengan pemukiman baru,” tulisnya.

Kini kenyataan justru berbalik: rakyat Palestina akan tetap tinggal di tanah mereka, Gaza dan Tepi Barat akan kembali ke dalam satu entitas politik, dan solusi dua negara menjadi arah politik yang tak bisa dihindari dengan dukungan komunitas internasional.

Ancaman Terorisme Yahudi

Bashar menilai, kehancuran besar yang ditinggalkan perang justru membangkitkan kesadaran global akan urgensi solusi politik.

Namun, Israel masih menolak kenyataan itu dan memilih melanjutkan kebijakan “melarikan diri dari realitas,” dengan menghindari perundingan apapun dengan Otoritas Palestina. Kebijakan semacam ini, lanjutnya, hanya akan memperkuat posisi Hamas, sebagaimana kegagalan Israel sebelumnya memecah-belah kepemimpinan Palestina.

Yang paling mengkhawatirkan, menurut Bashar, adalah kesadaran kelompok ekstrem bahwa kekalahan politik mereka tengah berlangsung. “Karena itu, mereka berusaha menggagalkan setiap langkah menuju kesepakatan politik dengan memicu kekerasan di lapangan,” ujarnya.

Ia menyoroti meningkatnya serangan pemukim terhadap warga Palestina di Tepi Barat, yang kerap terjadi di depan mata tentara tanpa tindakan berarti. Kondisi ini, kata Bashar, adalah indikasi nyata bahwa Israel di ambang gelombang teror Yahudi yang terorganisir.

Ia mengingatkan bahwa pola ini pernah muncul sebelumnya (mengacu pada pembantaian Masjid Ibrahimi tahun 1994) saat provokasi ekstrem berubah menjadi aksi teror berdarah.

Dengan pemerintahan Netanyahu yang lemah, aparat kepolisian tak berdaya, dan keberadaan para menteri yang disebutnya “beroperasi di luar hukum,” serta tentara yang “kehilangan kendali atas sebagian unitnya,” maka potensi kekacauan internal disebut lebih tinggi dari kapan pun sebelumnya.

Seruan untuk Bertindak

Bashar menegaskan, tanggung jawab utama kini berada di pundak tentara, kepolisian, dan Shin Bet untuk mencegah eskalasi tersebut. Namun, menurutnya, pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa lembaga-lembaga ini selalu gagal menghadapi terorisme Yahudi, dan kini tampak semakin tak berdaya. Ia menyerukan aksi cepat dan tegas dari semua aparat keamanan untuk menjalankan mandat mereka.

“Kegagalan menghadapi kekerasan dan terorisme Yahudi adalah bencana yang tak dapat ditoleransi,” tulisnya.

Bashar juga meminta agar para pejabat intelijen memandang perubahan diplomatik terkini sebagai indikator ancaman keamanan dalam negeri, bukan sekadar dinamika politik. Khusus kepada Shin Bet, ia menegaskan: “Inilah saatnya menunaikan tanggung jawab penuh dan bertindak keras terhadap hasutan serta kekerasan di kalangan pemukim.”

Dalam penutupnya, Bashar mengarahkan seruan langsung kepada pimpinan militer dan keamanan Israel (Kepala Staf, Komandan Wilayah Tengah, Komisaris Polisi, dan Kepala Shin Bet) untuk segera bertindak mencegah meledaknya kekerasan internal.

“Fakta bahwa pemerintah keluar dari jalur hukum,” tulisnya, “tidak berarti aparat di lapangan boleh berhenti menegakkan hukum.”

Ia menegaskan, Israel kini berada di persimpangan berbahaya: menghadapi ekstremisme Yahudi yang tumbuh dari frustrasi politik, atau terperosok dalam spiral kekerasan internal yang bisa mengguncang sisa kestabilan negara itu sendiri.

Sumber: Yedioth Ahronoth

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here