KEP TOWN – Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia di Wilayah Palestina yang Diduduki, Francesca Albanese, memilih Kota Cape Town, Afrika Selatan, sebagai tempat untuk mempresentasikan laporan terbarunya. Pilihan itu bukan tanpa alasan, Washington telah melarangnya masuk ke Amerika Serikat sebagai bagian dari sanksi politik yang ia sebut sebagai “cara intimidasi ala mafia.”

Dalam laporan setebal lebih dari 50 halaman itu, Albanese menuding 63 negara, bersama sejumlah lembaga dan perusahaan besar, terlibat dalam genosida di Gaza. Bentuk keterlibatan itu, katanya, bukan hanya tindakan langsung, tetapi juga diamnya dunia, dukungan finansial, perlindungan diplomatik, serta perdagangan dengan rezim penindas.

“Tautan dalam kejahatan tidak selalu berupa senjata. Kadang ia berwujud kesunyian,” ujar Albanese di hadapan ratusan hadirin di Gereja Groote Kerk, Cape Town.

Ia menegaskan bahwa apa yang dialami rakyat Palestina “tak memiliki preseden dalam sejarah modern,” dan menyerukan langkah konkret, mulai dari boikot ekonomi hingga penegakan hukum internasional.

Afrika Selatan, yang telah memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel dan menggugatnya di Mahkamah Internasional, menjadi tuan rumah bagi Albanese dalam acara yang juga dihadiri lembaga-lembaga kemanusiaan dan keagamaan, termasuk Yayasan Nelson Mandela dan Gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS).

Acara itu ditutup dengan pesan solidaritas dari Tepi Barat. “Semoga ini menjadi genosida terakhir dalam sejarah manusia,” kata Albanese penuh harap.

Dihukum karena Suara Kebenaran

Sebelumnya, Albanese mengecam keras sanksi yang dijatuhkan Amerika Serikat kepadanya. Ia menyebutnya sebagai “upaya sistematis untuk membungkam suara keadilan.”

“Saya tidak hanya dilarang bepergian ke AS, tetapi juga kehilangan akses finansial. Rekening saya dibekukan. Keluarga saya ikut menanggung akibatnya,” ujarnya dalam wawancara dengan media lokal Afrika Selatan.

Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio pada Juli lalu mengumumkan sanksi terhadap Albanese setelah laporan-laporannya menyoroti keterlibatan Washington dan Tel Aviv dalam agresi ke Gaza. Dalam sidang Majelis Umum PBB, pernyataan Albanese bahkan diserang oleh delegasi Israel, AS, dan sejumlah negara Eropa. Ia menanggapi serangan itu dengan tenang:

“Diam, dukungan finansial, dan perlindungan diplomatik adalah bentuk keterlibatan dalam kejahatan.”

Langkah di Pulau Mandela

Pada 26 Oktober, Albanese mengunjungi Pulau Robben, tempat Nelson Mandela menjalani 18 tahun penjara. Di dalam sel bernomor 5, ia berdiam beberapa menit dalam keheningan. “Dari tempat inilah lahir inspirasi tentang keberanian dan martabat manusia,” ujarnya usai berziarah ke simbol perjuangan melawan apartheid itu.

Ia kemudian menggelar kuliah umum di Universitas Cape Town, menyerukan boikot akademik terhadap Israel dan perlindungan bagi kebebasan berpendapat mahasiswa serta dosen yang mendukung Palestina.

Dua hari kemudian, di Pusat Desmond Tutu, ia mempresentasikan laporannya berjudul “Gaza: Genocide”, tetap dari tanah Afrika Selatan. “Kebenaran tidak membutuhkan New York,” katanya, “Ia bisa lahir dari mana saja, termasuk dari tempat yang telah mengalahkan kezaliman.”

Isi Laporan: 63 Negara dalam Bayang Genosida

Laporan itu memaparkan secara rinci keterlibatan 63 negara dalam genosida di Gaza, melalui dukungan militer, ekonomi, dan diplomatik, atau sekadar memilih bungkam.

Amerika Serikat disebut sebagai kontributor terbesar, dengan bantuan militer lebih dari 17,9 miliar dolar AS kepada Israel serta penggunaan hak veto sebanyak tiga kali untuk menggagalkan resolusi gencatan senjata di Dewan Keamanan PBB.

Negara-negara Eropa seperti Jerman, Prancis, dan Inggris juga disebut tetap bertransaksi dengan Israel meski Mahkamah Internasional telah mengeluarkan peringatan hukum. Sementara beberapa negara Arab dikritik karena melanjutkan normalisasi dan kerja sama keamanan dengan Tel Aviv.

Laporan itu juga menyebut sejumlah perusahaan teknologi raksasa, termasuk Google, Amazon, dan Microsoft, yang dituduh menyediakan layanan komputasi awan dan infrastruktur data untuk operasi militer Israel.

Pesan untuk Dunia dan Palestina

Dalam penutup pidatonya, Francesca Albanese menegaskan, “Apa yang terjadi di Gaza adalah ujian bagi nurani dunia. Jika dunia diam hari ini, maka kita semua bersalah.”

Ia memuji Afrika Selatan karena menjadi negara pertama yang berani membawa Israel ke pengadilan internasional, menyebutnya sebagai “teladan moral yang harus diikuti.”

“Perjuangan rakyat Palestina terlihat, keteguhan mereka dihormati, dan dunia mulai terbangun bersama mereka,” katanya. “Keadilan bagi Palestina bukanlah pilihan moral, melainkan kewajiban hukum dan kemanusiaan.”

Menurutnya, momentum gerakan global untuk memboikot Israel kini semakin kuat, dan “akhir dari apartheid Israel hanyalah soal waktu.”

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here