Seorang pejabat Amerika Serikat mengkonfirmasi kepada Al Jazeera bahwa Washington sedang membangun pusat koordinasi militer di wilayah pendudukan Israel untuk memantau pelaksanaan perjanjian gencatan senjata di Gaza yang baru saja diberlakukan.
Menurut pejabat tersebut, pusat koordinasi itu akan bertugas mengawasi tahapan penerapan gencatan senjata dan transisi menuju pemerintahan sipil di Gaza. Keberadaan pusat itu juga disebut akan mengatur arus bantuan kemanusiaan, logistik, dan pengaturan keamanan di lapangan.
Ia menambahkan, gelombang pertama personel militer Amerika telah tiba di wilayah pendudukan Israel. Total sekitar 200 tentara AS akan dikerahkan untuk mendukung operasi pusat koordinasi tersebut, terutama dalam bidang transportasi, perencanaan militer, keamanan, dan rekayasa teknis. Meski demikian, ia menegaskan bahwa AS tidak berencana menempatkan tentaranya langsung di wilayah Jalur Gaza.
Gencatan senjata antara Hamas dan Israel mulai berlaku Jumat siang waktu setempat, berbarengan dengan penarikan sebagian pasukan pendudukan Israel ke garis yang mereka sebut “garis kuning” di dalam Gaza.
Sesuai dengan perjanjian yang disepakati, seluruh bantuan kemanusiaan diperbolehkan masuk ke Gaza tanpa hambatan, melanjutkan mekanisme yang sebelumnya telah berjalan sejak 19 Januari 2025, yang mengizinkan hingga 600 truk bantuan per hari memasuki wilayah yang terkepung tersebut.
Kesepakatan terbaru ini lahir setelah empat hari perundingan tidak langsung antara Hamas dan Israel di Sharm el-Sheikh, Mesir, dengan mediasi Qatar, Mesir, Turki, dan Amerika Serikat.
Meski terlibat sebagai mediator, peran Washington tetap mendapat sorotan tajam. Sebab, sejak 8 Oktober 2023, Israel melakukan agresi militer brutal di Gaza dengan dukungan penuh Amerika Serikat. Serangan tersebut telah menewaskan lebih dari 67 ribu warga Palestina (mayoritas perempuan dan anak-anak) serta menghancurkan infrastruktur sipil secara masif, hingga menciptakan krisis kemanusiaan terbesar abad ini.