Bob Suberi bukan sekadar nama dalam daftar tentara Amerika Serikat. Dahulu ia percaya bahwa kebenaran bisa dipaksakan lewat moncong senapan. Namun, belasan tahun kemudian, ia menemukan kebenaran lain, bukan di medan perang, melainkan di wajah anak-anak yang tumbuh di bawah hujan bom, tanpa jendela, tanpa langit.

Kini, pria berusia 77 tahun itu berdiri di atas kapal Hanzala, membelah lautan menuju Gaza yang terkepung. Bukan untuk menjadi pahlawan, tapi untuk menebus diamnya yang panjang. Ia tak lagi membawa senjata, melainkan tekad dan hati yang terbuka.

Suberi dibesarkan dalam komunitas Yahudi-Zionis di St. Louis, Missouri. Masa kecilnya dihabiskan di kamp musim panas Zionis, meyakini bahwa proyek pendudukan adalah bagian dari identitas kolektifnya. Ia memiliki dua kewarganegaraan (Israel dan AS) dan tumbuh memuja narasi pendirian negara Israel. Ia baru menyadari belakangan bahwa tanah kelahiran ibunya bukan “Israel,” tapi Al-Quds, Palestina.

Pergulatan Nurani

Titik balik terjadi tahun 2006. Suberi ikut dalam kunjungan ke pangkalan militer Israel bersama veteran Yahudi AS. Tapi saat malam datang dan para veteran itu mulai berbicara, Suberi merasa terasing. Ia mendengar rekan-rekannya menyebut Palestina sebagai “kotoran” dan menyerukan “jatuhkan bom nuklir ke Gaza.”

“Tak satu pun nilai kemanusiaan yang kupegang bisa kutemukan di sana,” kenangnya.

Setelah pulang, ia tenggelam dalam buku-buku sejarah alternatif. Ia membaca Rashid Khalidi, Edward Said, dan sejarawan Israel progresif. Dari sana, luka yang semula ia abaikan perlahan terbuka: bahwa ia, seumur hidupnya, memuja mitos dan menutup mata dari penindasan yang nyata.

Seorang Zionis yang Sembuh

Tahun 2019, ia bergabung dengan Center for Jewish Nonviolence dan terjun langsung ke wilayah konflik di Masafer Yatta, Hebron. Ia menyaksikan sendiri kekejaman para pemukim dan ketakutan warga Palestina.

Lalu datanglah Hanzala, sebuah kapal kecil namun sarat makna. Tahun 2023, ia mulai berlayar dari Norwegia ke Prancis, Spanyol, dan Portugal, mengantarkan bantuan simbolik ke Gaza. Misi ini bukan tentang jumlah bantuan, melainkan tentang membuka mata dunia: bahwa Gaza dipenjara dari darat, laut, dan udara.

“Jika kami gagal mencapai Gaza,” ujarnya, “biarlah kapal ini tetap menjadi suara yang menembus tembok kebisuan. Kami akan coba lagi. Dan lagi. Sampai pengepungan ini runtuh.”

Berdiri di Sisi Sejarah yang Benar

Ketika ditanya mengapa ia rela mempertaruhkan nyawa di usia senja, Suberi menjawab lirih, “Karena ini adalah kehormatan. Untuk memberitahu rakyat Palestina: kalian tidak sendiri.”

Ia tidak ingin dikenang sebagai “suara Barat yang bersimpati,” melainkan sebagai manusia yang memilih berdiri di sisi sejarah yang benar. Seorang yang pernah ikut perang, tapi kini berlayar demi damai, karena ia telah menemukan kembali keberanian dan iman.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here