Untuk waktu yang begitu panjang, sebagian besar media arus utama Barat memilih bungkam. Mereka membiarkan kebiadaban Israel atas rakyat Gaza berlalu begitu saja, seakan tak pernah terjadi. Padahal, nilai-nilai yang mereka agung-agungkan (hak asasi manusia, pembelaan terhadap kaum tertindas, kebebasan, keadilan) semestinya menggugah nurani mereka sejak lama.
Namun, pemandangan anak-anak Gaza yang tubuhnya mengeriput, suara para ibu yang tak mampu lagi menyusui bayinya karena perut mereka sendiri kosong, perlahan mulai menembus dinding kebisuan itu. Bahkan sejumlah media konservatif yang biasanya berdiri di sisi narasi Israel pun kini tampak goyah.
Dalam laporan ini, kita menelusuri bagaimana sejumlah surat kabar utama dunia (yang kemarin acuh, hari ini mulai bersuara) akhirnya mengangkat kisah tragis dari tanah Gaza yang telah lama dibungkam. Terutama terkait kebijakan kelaparan sistematis yang dijalankan Israel terhadap dua juta jiwa yang terkepung, dalam suasana dunia yang lebih memilih diam ketimbang bersuara.
Perubahan sikap media ini bukan tanpa alasan. Gambaran nyata krisis kemanusiaan di Gaza tak lagi bisa disangkal. Dunia melihatnya, dunia mendengarnya. Dan dunia, perlahan, mulai merasa bersalah.
Senin lalu, Uni Eropa bersama 28 negara Barat (termasuk Inggris dan Prancis) mengeluarkan seruan mendesak agar Israel menghentikan perang. Mereka mengecam “arus bantuan yang tidak teratur”, dan menyebut kematian lebih dari 800 warga sipil yang tengah mengantre bantuan sebagai “mengerikan”.
Ketika ‘The Telegraph’ Akhirnya Melihat
Surat kabar konservatif The Telegraph, yang selama ini dikenal keras terhadap isu Palestina dan kerap menelan mentah narasi Israel, menerbitkan laporan mengejutkan berjudul: “Tubuhnya Melemah Hari Demi Hari… Anak-Anak Gaza Mati Kelaparan.” Dalam artikel itu, mereka memuat gambar anak-anak kurus kering di salah satu rumah sakit yang masih bertahan.
The Telegraph juga memuat peringatan dari lebih dari 100 organisasi kemanusiaan global, termasuk Médecins Sans Frontières, Oxfam, dan Save the Children. Mereka menyatakan Gaza kini berada di ambang kelaparan massal.
‘The Times’ dan Bahasa yang Terpaksa Dipakai
Di halaman dalam, The Times menulis berita berjudul: “Kelaparan Massal” di Gaza, dengan tanda kutip yang menunjukkan sikap setengah percaya. Namun bahkan dalam keterbatasannya, mereka mengakui bahwa lebih dari seribu warga Gaza tewas saat mencoba mengakses bantuan pangan dalam dua bulan terakhir.
‘The Independent’: Ketika Emas Dipertukarkan Demi Tepung
Dengan pendekatan yang lebih manusiawi, The Independent menempatkan Gaza di halaman depan, dalam video bertajuk: “Orang Palestina Tukar Emas Demi Tepung.” Dalam laporan tersebut, mereka menyoroti bayi-bayi yang meninggal karena tak mendapat air susu dari ibu mereka yang kelaparan. Mereka yang mencari bantuan pun kini mempertaruhkan nyawa.
Media Amerika Terpaksa Menulis, Tapi…
The Washington Times, media konservatif AS, menerbitkan berita tentang 29 korban jiwa akibat serangan Israel dan peringatan lebih dari 100 LSM soal ancaman kelaparan. Namun, narasi Israel tetap disisipkan, bahwa mereka “sudah mengizinkan cukup bantuan masuk.” Tak ada gambar anak-anak kelaparan. Tak ada suara dari Gaza.
Di sisi lain, Wall Street Journal melaporkan dari Tel Aviv, menulis bahwa “anak-anak Gaza sekarat karena lapar.” Mereka mencantumkan angka dari PBB: 10 anak meninggal karena kekurangan gizi hanya dalam sebulan terakhir. Tapi gambar, lagi-lagi, tak muncul. Seolah penderitaan hanya layak dibaca, bukan dilihat.
“Mati karena Bom Tak Lagi Menakutkan”
Le Temps, surat kabar berbahasa Prancis dari Swiss, menurunkan kutipan dari jurnalis Palestina Fadwa Al-Hourd:
“Kalau kalian tak bisa hentikan bom, setidaknya hentikan lapar ini… Mati karena bom cepat. Tapi mati karena lapar itu perlahan-lahan melihat tubuhmu menghilang.”
Sementara Le Figaro, yang dikenal condong ke kanan dan pro-Israel, untuk pertama kalinya mencatat peringatan 100 LSM tentang “kelaparan massal”. Sedangkan Le Monde mengangkat editorial di halaman utama: “Kemarahan Saja Tak Cukup.” Mereka menyerukan sanksi diplomatik, ekonomi, dan budaya terhadap Israel.
‘The Guardian’: Lebih dari Sekadar Laporan
Satu pengecualian yang menonjol datang dari The Guardian. Mereka menyediakan blog langsung dari Gaza, menulis: “Orang-Orang di Gaza Hanya Rangka Berjalan.” UNRWA disebut memiliki 6.000 truk bantuan yang masih tertahan karena Israel tak mengizinkan masuk.
Dalam editorialnya yang tajam berjudul “Butuh Lebih dari Sekadar Kata-Kata”, The Guardian menuliskan:
“Di balik semua kematian ini tersembunyi satu hal: kelaparan yang dirancang dengan teliti, dikendalikan dengan presisi, dan diatur secara sistematis.”
Mereka menegaskan: Dunia tak bisa terus menonton. Dunia harus bertindak. Jika hukum kemanusiaan internasional bisa dilanggar sebebas ini, maka tak ada lagi yang aman dari kejahatan serupa di masa depan.

Apa yang dulunya dianggap sebagai narasi sepihak, kini mulai retak oleh kenyataan di lapangan. Rintih kelaparan yang menyayat, tubuh-tubuh kecil yang mengering, dan air mata yang tak lagi bisa ditahan, akhirnya memaksa media Barat menoleh.
Namun apakah ini cukup?
Suara mereka baru datang ketika tragedi sudah terlalu dalam. Tetapi barangkali, meski terlambat, kebenaran tetap punya kekuatan untuk membangunkan nurani dunia.