Warga Palestina Hazem Al-Takruri dari Kota Hebron, Tepi Barat selatan, terbangun kaget pada Minggu dini hari saat pasukan Israel menyerbu rumahnya di lingkungan Universitas. Ia dan keluarganya yang terdiri dari empat orang dipaksa keluar dalam kondisi terancam, tanpa diberi surat resmi penyitaan rumah, tanpa waktu untuk membawa barang-barang mereka, dan tanpa tahu kapan bisa kembali.
Rumahnya kemudian dikuasai tentara Israel dan dijadikan barak militer.
Apa yang dialami Al-Takruri bukan peristiwa tunggal. Sejak agresi militer ke Gaza dimulai pada Oktober 2023, kebijakan pendudukan rumah warga oleh tentara Israel makin sering terjadi. Dan sejak pecahnya ketegangan baru antara Iran dan Israel pekan lalu, aksi ini semakin meluas.
Rumah Warga Jadi Markas Tentara
Berbeda dari kasus sebelumnya yang umumnya terjadi di Jenin dan Tulkarm, kali ini rumah Al-Takruri berada jauh di dalam wilayah otoritas Palestina, menjadikan kasus ini sebagai salah satu yang pertama di luar dua kota itu.
Dalam dua hari terakhir, media sosial dipenuhi foto dan video rumah-rumah warga Palestina di berbagai wilayah Tepi Barat yang disita paksa dan diubah menjadi pos militer.
Ironisnya, pengambilalihan rumah ini terjadi di tengah pemberlakuan penutupan total atas kota, desa, dan kamp pengungsi Palestina oleh tentara Israel. Semua akses ditutup, pergerakan dibatasi, dan kehidupan warga sipil dibekukan.
Motif Ganda: Militer dan Tekanan Psikologis
Menurut pengamat politik Palestina, Ahmad Abu Al-Haija, kebijakan ini memiliki dua tujuan utama:
1. Mengganti posisi kamp-kamp militer dengan rumah warga, guna menghindari risiko serangan rudal dari Iran.
2. Meningkatkan tekanan psikologis dan ekonomi terhadap warga Palestina di Tepi Barat.
Dia mencontohkan kasus di barat Jenin, ketika tentara Israel meninggalkan pangkalan militer dan malah menguasai rumah-rumah warga di Desa Rummanah, yang bersebelahan dengan kamp itu.
Dengan begitu, bila kamp diserang, para tentara tidak berada di dalamnya.
“Para tentara sekarang tinggal di rumah-rumah warga dengan asumsi itu lebih aman. Sebagian warga diberitahu rumah mereka akan digunakan selama dua pekan, meski bisa saja diperpanjang,” jelas Abu Al-Haija.
Pendudukan yang Melumpuhkan Ekonomi
Lebih dari itu, menurut Abu Al-Haija, penyitaan rumah disertai penutupan akses ekonomi telah melumpuhkan pergerakan barang dan jasa. Truk-truk komersial terhalang antarprovinsi, dan pengiriman dari Yordania ke Palestina pun tertahan.
“Padahal wilayah Tepi Barat tidak terlibat langsung dalam operasi militer. Pembatasan ini tidak bisa dibenarkan secara hukum, bahkan dalam kondisi darurat sekalipun,” tegasnya.
Di mengingatkan bahwa tindakan Israel melanggar hukum internasional dan hukum humaniter, yang menjamin perlindungan warga sipil selama masa perang.
Strategi Teror dan Penundukan
Jamal Jum’ah, Koordinator Kampanye Rakyat Menolak Tembok dan Permukiman, menyebut penyitaan rumah-rumah warga sebagai bagian dari strategi teror Israel.
“Ini adalah upaya memperkuat kontrol dan menakut-nakuti warga agar tak berani melawan pendudukan,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa warga kini dilarang berjalan di jalanan, dan kehidupan mereka semakin lumpuh.Situasi itu menciptakan kepanikan.
“Kita lihat antrean panjang di SPBU dan toko-toko, padahal tidak ada alasan langsung yang memicu itu, semua karena tekanan psikologis,” katanya.
Menurut laporan Badan Perlawanan Tembok dan Permukiman Palestina, Israel telah menutup hampir seluruh akses dan pos pemeriksaan di Tepi Barat. Ini merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi dasar rakyat Palestina, terutama hak bergerak dan mengakses layanan kesehatan.
Saat ini, Tepi Barat terbelah oleh hampir 900 titik pemeriksaan militer Israel, termasuk 160 gerbang permanen di seluruh pintu masuk kota-kota Palestina.
Sumber: Al Jazeera