Serangan bersenjata di Museum Yahudi di ibu kota Amerika Serikat, Washington D.C., yang menewaskan dua pegawai kedutaan Israel, memicu gelombang pertanyaan terkait konteks dan dampaknya.

Insiden ini terjadi di tengah berkecamuknya agresi Israel ke Jalur Gaza yang hingga kini belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.

Dalam wawancaranya di program Behind the News, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Kuwait, Dr. Abdullah Al-Shayji, menyampaikan keyakinannya bahwa serangan tersebut bukanlah bentuk antisemitisme, melainkan reaksi alami dari dunia terhadap kelaparan massal dan pembantaian anak-anak serta perempuan yang terjadi di Gaza akibat perang Israel yang brutal.

Menurutnya, dampak dari agresi ke Gaza kini tak lagi terbatas di Palestina atau kawasan Timur Tengah saja, melainkan telah berubah menjadi persoalan kemanusiaan global.

Dunia menyaksikan secara langsung—melalui layar—bagaimana Israel terus melakukan kejahatan perang secara terang-terangan.

Al-Shayji juga menyinggung bagaimana represi terhadap mahasiswa di kampus-kampus Amerika Serikat turut menyuburkan gelombang kemarahan terhadap Israel, yang kini dianggap sebagai negara yang ditolak, dibenci, dan dipandang sebagai entitas ilegal secara moral dan hukum.

Sebagai pakar hubungan internasional dan urusan Amerika, ia menyatakan bahwa pelaku serangan di Washington ingin menyampaikan pesan kuat: “Cukup sudah!”

Tak hanya kepada dunia, tetapi juga kepada masyarakat Israel sendiri, bahwa mereka akan “membayar harga atas perang tanpa arah yang dipaksakan oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.”

Kementerian Keamanan Dalam Negeri AS mengumumkan bahwa dua pegawai kedutaan Israel tewas setelah ditembak oleh seorang pria berusia 30 tahun di dekat Museum Yahudi.

Saat itu, kedua korban tengah menghadiri acara yang diselenggarakan oleh Komite Yahudi Amerika di Washington.

Polisi mengungkap bahwa pelaku bernama Elias Rodriguez dari Chicago, Illinois, tidak memiliki catatan kriminal sebelumnya. Usai menjalankan aksinya, ia menyerahkan diri secara sukarela sambil meneriakkan, “Kebebasan untuk Palestina!”

Soal dampak yang mungkin terjadi, Al-Shayji memperkirakan Israel akan mencoba membalikkan narasi dengan menuduh negara-negara Eropa sebagai pemicu kebencian terhadap warga Israel.

Israel, menurutnya, berupaya kembali memainkan peran sebagai korban hanya karena mereka Yahudi.

Namun narasi “korban” yang coba dijual Israel selama 77 tahun terakhir, tegas Al-Shayji, kini telah runtuh. Dunia mulai sadar bahwa Israel adalah negara yang menjalankan genosida dan pembantaian massal, tanpa sedikit pun rasa hormat terhadap hukum dan konvensi internasional.

Sementara itu, dari dalam Israel sendiri, kritik keras datang dari Yair Golan, Ketua Partai Demokrat Israel. Ia menyatakan bahwa pemerintah Netanyahu justru menjadi bahan bakar bagi munculnya antisemitisme dan kebencian terhadap Israel.

Golan menegaskan bahwa hasil dari kebijakan Netanyahu adalah isolasi diplomatik yang belum pernah terjadi sebelumnya, serta meningkatnya risiko keamanan bagi setiap orang Yahudi di seluruh dunia.

Sikap Amerika Serikat

Michael Mulroy, mantan perwira intelijen AS, menyebut serangan tersebut sebagai insiden mengerikan dan menganggapnya sebagai bentuk antisemitisme. Ia beralasan bahwa pelaku mungkin tidak tahu bahwa korban adalah bagian dari pemerintah Israel, namun mengasumsikan mereka sebagai orang Yahudi.

Meski demikian, ia mengimbau publik menunggu hasil penyelidikan. Mulroy juga memperkirakan bahwa AS akan memperketat pengamanan di tempat-tempat ibadah dan museum, sementara Israel akan memperketat keamanan di seluruh kedutaan dan konsulatnya di dunia.

Menteri Kehakiman AS, Pam Bondi, menyebut pelaku diduga bertindak sendiri. Ia juga mengungkap bahwa aparat keamanan Amerika telah memperkuat penjagaan terhadap fasilitas diplomatik milik Israel.

Di sisi lain, mantan Presiden AS Donald Trump mengaitkan insiden tersebut dengan kebencian terhadap Yahudi. Ia menegaskan bahwa “pembunuhan mengerikan di Washington yang dilandasi antisemitisme ini harus segera dihentikan.”

Namun, Mulroy menilai serangan ini tak akan memengaruhi hak demonstrasi dan kebebasan berekspresi di AS. Menurutnya, tekanan yang terjadi di kampus-kampus saat ini lebih banyak menyasar mahasiswa asing, bukan warga negara Amerika.

Serangan di Washington ini tak bisa dilepaskan dari kemarahan global terhadap kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Israel di Gaza. Upaya untuk mengaburkan pesan protes sebagai “antisemitisme” justru menunjukkan betapa Israel panik menghadapi keruntuhan narasi yang telah dijaganya selama puluhan tahun. Dunia semakin sulit dibungkam, dan suara “kebebasan untuk Palestina” makin lantang di jantung kekuasaan global.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here