Setiap 10 bom yang dijatuhkan Israel ke Gaza, setidaknya satu di antaranya tak meledak. Temuan ini disampaikan oleh Badan PBB Urusan Ranjau, mencerminkan betapa masif dan membabi butanya agresi Israel atas wilayah kecil yang telah porak poranda selama lebih dari satu tahun setengah.

Di antara lebih dari 50 juta ton puing-puing yang berserakan di penjuru Gaza, bom-bom yang belum meledak itu menyatu dengan serpihan rumah, jasad, dan harapan rakyat yang hancur. Sejak Oktober 2024, militer Israel mengklaim telah menggempur Gaza lewat lebih dari 40 ribu serangan udara. AS menyebut Gaza kini “tidak layak huni.” Presiden Donald Trump bahkan menyarankan agar AS mengambil alih Gaza dan memimpin proses pembersihan bahan peledak demi membangun “Riviera Timur Tengah.”

Namun, ini bukan sekadar soal puing atau bom. Ini soal waktu yang terbuang dan nyawa yang melayang. Sejak serangan dimulai 7 Oktober 2023, setidaknya 23 warga Palestina gugur dan 162 lainnya terluka akibat bom-bom yang gagal meledak di saat perang, namun tetap menjadi ancaman mematikan. Itu pun baru angka yang tercatat—karena sebagian besar korban bahkan tak tahu bagaimana melapor.

Beberapa faksi pejuang Palestina mengaku mengumpulkan sisa-sisa bom itu untuk kembali digunakan melawan penjajah. Namun mereka juga menyatakan kesediaan untuk bekerja sama dengan lembaga internasional demi menyingkirkan ancaman tersebut.

Diblokade, Bahkan untuk Menyapu Ranjau

Namun, upaya internasional untuk menghapus jejak bom-bom maut ini terhambat oleh Israel sendiri. Sembilan pejabat kemanusiaan mengatakan, saat jeda perang sekalipun, Israel melarang masuknya lebih dari 2.000 alat penting, mulai dari kendaraan lapis baja hingga kawat khusus untuk menjinakkan bom, hanya karena khawatir bisa disalahgunakan untuk kepentingan militer.

“Pembersihan belum dimulai karena Israel membatasi alat dan tim profesional,” kata Juru Bicara HAM PBB, Jeremy Laurence.

Padahal, menurut hukum internasional, sebagai penjajah, Israel berkewajiban menyingkirkan sisa-sisa perang yang mengancam keselamatan warga sipil. Komite Palang Merah Internasional menegaskan, meski Israel tak menandatangani Konvensi Den Haag 1907, kewajiban tersebut tetap berlaku secara hukum adat internasional.

Namun ketika Reuters menanyakan ke tentara Israel, tak ada tanggapan. Begitu pula dari badan militer Israel yang mengurus bantuan kemanusiaan.

Dari Gedung Putih, Brian Hughes, Juru Bicara Dewan Keamanan Nasional AS, menegaskan: “Gaza tak layak ditinggali. Memaksa warga hidup di tengah bom yang belum meledak adalah tindakan tidak manusiawi.”

10 Tahun dan Setengah Miliar Dolar

Tanpa dukungan penuh, menurut estimasi PBB, butuh waktu satu dekade dan biaya sekitar 500 juta dolar untuk membersihkan Gaza dari bom-bom yang belum meledak.

Para ahli dari PBB memperkirakan ada ribuan bom terkubur di bawah tanah atau tersebar di reruntuhan bangunan. Bahkan, Reuters menemukan satu bom sepanjang satu meter di antara sampah Kota Gaza, sementara seorang warga pengungsi mengaku tak bisa pulang karena rumahnya masih menyimpan bom aktif.

Yang lebih mengerikan, ada laporan tentang bom yang dijadikan tiang tenda oleh para pengungsi karena tak tahu benda itu masih aktif.

Berdasarkan data, jika 10% dari 40 ribu bom tak meledak, maka setidaknya ada 4 ribu bom aktif berserakan—belum termasuk yang ditembakkan lewat darat dan laut. Bahkan para ahli percaya jumlah ini bisa lebih besar, karena bom-bom di kawasan padat penduduk sering kali gagal meledak sempurna.

“Situasi ini adalah yang paling mengerikan dalam karier saya,” ujar Gary Tomes, pakar ranjau yang pernah bertugas di Irak, Suriah, Ukraina, dan Lebanon selama tiga dekade terakhir.

Ancaman Tak Kasat Mata di Tengah Reruntuhan

Gaza tak hanya penuh bom, tapi juga racun. Reruntuhan bangunan mengandung asbes dan zat berbahaya. Juga, ribuan jasad warga Palestina yang belum dievakuasi masih terkubur di sana. “Ini seperti gempa dahsyat—tapi di tengah reruntuhan itu terselip ribuan bom,” ujar Greg Crowther dari Mines Advisory Group, lembaga global penanganan ranjau.

Sementara itu, bom jenis Mark 84—buatan Amerika—disebut-sebut sebagai salah satu senjata paling mematikan yang digunakan Israel. Beratnya mencapai 900 kg dan bisa melubangi tanah selebar 14 meter dengan radius mematikan hingga 400 meter jika meledak di permukiman padat.

Reuters menemukan dua bom Mark 84 di Khan Younis, tersembunyi di bawah reruntuhan. Seorang warga, Hani Al-Abadleh (49), bahkan masih tinggal di rumahnya yang hancur, meski tahu ada bom aktif tertanam di bawah rumahnya. Ia lebih memilih tinggal di situ bersama saudaranya, daripada mengungsi di tenda dingin bersama anak dan istrinya yang menolak pulang karena takut.

Sejak perang pecah, 31 polisi penjinak bom gugur saat bertugas, dan 22 lainnya luka-luka. Pemerintah Gaza pun menyerukan agar tim internasional segera turun tangan. Tapi tanpa izin dari Israel, alat berat dan tenaga ahli tak bisa masuk.

Untuk sekarang, yang bisa dilakukan para relawan hanyalah memberi tanda peringatan dan berharap anak-anak tidak menyentuh bom itu secara tak sengaja.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here