Di tengah kepungan bom dan blokade, tiga perempuan muda dari Gaza terus menyimpan mimpi. Lewat proyek We Are Not Numbers, mereka menulis kisah—bukan hanya tentang penderitaan, tetapi tentang cinta mereka pada hidup, seni, dan masa depan. Mereka ingin dunia tahu: mereka bukan angka.

Iman, Sang “Dokter Bedah” Bangunan Bersejarah Gaza

Iman Al-Shawa punya mimpi yang tak biasa: menjadi “dokter bedah” untuk bangunan tua di Gaza. Sejak kecil, ia terpesona oleh arsitektur kuno kota itu. Salah satunya adalah Qasr al-Basha, bangunan bersejarah yang menurut legenda dibangun oleh Sultan Baybars pada abad ke-13 karena cintanya kepada seorang perempuan Gaza.

Iman mengaku tumbuh dengan keyakinan bahwa bangunan-bangunan tua itu bernyawa. “Jika jiwa-jiwa yang masih hidup saja tak terdengar teriakannya dari Gaza, bagaimana dengan batu-batu bisu yang pelan-pelan hancur membawa serta sejarah sebuah bangsa?” katanya.

Ia berhasil menjadi arsitek lulusan Universitas Islam Gaza pada 2008. Kini, ia masih bertahan di Gaza—meski harus mengungsi tiga kali selama perang, dan terpaksa menghentikan studi masternya karena putusnya jaringan internet.

Amani, Perempuan Pertama Penjual Burger di Gaza

Di tengah kota Gaza, Amani Shaath berdiri di balik kios mungil bertuliskan Salt 3 Burger. Perempuan 25 tahun ini dikenal sebagai pionir: dialah perempuan pertama di Gaza yang membuka lapak burger jalanan.

Awalnya, Amani bekerja di toko gaun pengantin. Ia lalu hijrah ke Turki bersama suaminya, dan bekerja sebagai koki di restoran barat. Di sanalah ia belajar resep burger sapi yang kemudian membawanya membuka kios sendiri di Gaza.

Ketika kembali karena ibunya sakit, Amani melihat kios kosong di Jalan Al-Rashid. Meski banyak yang meremehkan, ia nekat menyewa dan memulai bisnisnya dengan modal seadanya. “Orang bilang aku akan gagal. Tapi aku yakin, Gaza butuh sesuatu yang baru,” ucapnya.

Kini, setelah tiga bulan perang, Amani dan keluarganya berhasil mengungsi ke Mesir. Namun tiga saudara dan keluarganya masih tertahan di Gaza.

Aya, Dokter Gigi yang Kehilangan Semua, Kecuali Mimpinya

Aya Zaqout baru dua bulan menjalani masa magang sebagai dokter gigi ketika perang besar meletus pada 7 Oktober. Ia dan keluarganya dipaksa mengungsi dari Gaza utara ke selatan dengan berjalan kaki, melewati pos pemeriksaan militer Israel di mana mereka harus mengangkat bendera putih dan menunjukkan identitas.

“Aku melihat mayat-mayat hangus di jalan. Mereka memeriksa kami satu per satu, menyuruh laki-laki telanjang. Aku takkan pernah lupa hari itu,” kenangnya.

Aya harus meninggalkan semua: rumah, alat lukis, bahkan impian. Ia dikenal sebagai dokter sekaligus pelukis, dan bercita-cita membuka galeri seni. Tapi semua hancur oleh perang. Universitasnya hancur. Rumah sakit tempatnya magang hancur. Gaza hancur.

Namun di tengah keterbatasan, Aya tetap menggambar. Dengan pena dan kertas seadanya, ia melukis wajah seorang perempuan yang menatap ke langit dari balik lubang berbentuk peta Palestina. Lukisan itu diberi judul Mencari Tanah Air.

“Menemukan tanah air adalah tugas tersulit. Mungkin mustahil,” katanya.

Aya kini tinggal di Kairo, menjual lukisan dan menggelar pameran seni. Tapi keluarganya masih di Gaza. Ia tak bisa membawa mereka karena biaya keluar dari Gaza mencapai 30 ribu pound sterling.

“Aku merasa bersalah setiap hari. Komunikasi kami sangat terbatas karena sinyal internet yang buruk. Tapi aku pergi demi mereka. Masa depanku adalah masa depan mereka juga,” kata Aya, menutup ceritanya.

Sumber: Guardian

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here