Spirit of Aqsa- Hanadi Al-Hawani, seorang guru di Masjid Al-Aqsa, dikenal sebagai murabithah yang tak pernah gentar melawan penjajahan Palestina, terkhusus Baitul Maqids. Dia mengaku sudah sering masuk penjara.
“Saya keluar dari penjara ke penjara lain dan hukuman ini berlaku untuk saya,” ucap Hanadi dalam wawancaranya di Al Jazeera, dikutip Jumat (23/8/2024).
Hukuman terbaru Hanadi lebih nyeleneh lagi. Israel melarangnya berkomunikasi dengan delapan orang, yang sebagian besar terkait dengan isu Al-Aqsa. Dia sudah empat kali diberi hukuman semacam itu. Namun ini kali pertama ia dihukum tanpa penyelidian dan pengadilan, dan juga pertama kalinya menerima keputusan dari pihak administratif setelah dikeluarkan oleh Israel.
Hanadi pertama kali dia menerima keputusan larangan berkomunikasi dengan orang tertentu adalah pada 2017, kemudian pada 2020, dan awal 2023 dilarang berkomunikasi dengan 15 orang. Baru-baru ini, pada 18 Agustus 2023, dia menerima keputusan yang ditandatangani oleh asisten penasihat hukum Komando Dalam Negeri Israel, Amit Roif, setelah dipanggil untuk sesi dengar pendapat di pusat penyelidikan di Yerusalem Barat.
Tuduhan Tak Berdasar
Dalam keputusan administratif yang diterima Hanadi, disebutkan bahwa keputusan tersebut dibuat berdasarkan peraturan darurat tahun 1945, dan bahwa kegiatan Hanadi dianggap mengancam keamanan negara Israel karena keterlibatannya dengan organisasi yang dianggap sebagai ancaman.
Keputusan tersebut juga mencantumkan delapan nama orang yang dilarang Hanadi hubungi, termasuk Sheikh Raed Salah dan wakilnya Kamel Al-Khatib.
Hanadi menyebutkan bahwa keputusan kali ini aneh karena dikeluarkan tanpa penyelidikan atau persidangan, berbeda dengan kasus-kasus sebelumnya.
Dari Penjara ke Penjara Lain
Hanadi juga menyatakan bahwa selain larangan berkomunikasi, dia juga menerima perpanjangan larangan bepergian selama lima bulan. “Saya keluar dari penjara pada akhir November lalu ke penjara lain,” katanya, mengungkapkan frustrasinya karena larangan ini membuatnya tidak bisa bepergian dan berkomunikasi dengan orang-orang terdekatnya.
Selain larangan-larangan tersebut, Hanadi juga mengalami kesulitan mendapatkan kartu identitasnya kembali setelah setiap penangkapan, dan harus mengajukan permohonan baru yang memakan waktu dan biaya.
Hanadi menekankan bahwa Israel berusaha membungkamnya dan membuatnya merasa terpenjara meski berada di luar penjara.
Selain keputusan-keputusan tersebut, Hanadi juga akan menghadapi persidangan pada dua kasus terkait Masjid Al-Aqsa dalam waktu dekat. Untuk menghindari hukuman lebih lanjut, dia membatasi aktivitasnya di media sosial dan penampilannya di media.
Pengacara Hanadi, Khaled Zabarqa, menyebut keputusan administratif ini sebagai tindakan sewenang-wenang yang didorong oleh motif rasis tanpa pengawasan yudisial yang memadai.
Menurut Zabarqa, keputusan ini bertujuan untuk membungkam Hanadi dan menyiapkan kondisi bagi kelompok ekstremis Yahudi untuk melakukan serangan terhadap Al-Aqsa.