Spirit of Aqsa- Satu juta lebih warga sipil Palestina bersiap menghadapi kemungkinan terburuk jika militer Israel menginvasi Rafah, Jalur Gaza selatan. Rafah merupakan wilayah terakhir yang diklaim ‘aman’ oleh Israel untuk para pengungsi Palestina. Namun, militer Israel terus membombardir wilayah tersebut meski mendapat kecaman dari dunia internasional.
Mengutip Aljazeera Arabic, warga sipil mulai bersiap untuk menghadapi isu tersebut. Mulai mengupayakan agar keluarga mereka bisa berada di tempat aman sebelum mendengar suara-suara tank masuk ke Rafah.
Dalam sebuah artikel di situs berita Amerika, Daily Beast, advokat HAM, Hanadi Salah, membeberkan kesaksian atas peristiwa yang melanda warga sipil Palestina. Pada Oktober 2023, mayoritas warga Gaza menganggap serangan udara Israel hanya menyasar tempat-tempat tertentu saja. Namun seiring berjalannya waktu, pembantaian meluas ke mana-mana dan mencapai segala aspek kehidupan warga Palestina.
Hadani dan para pengungsi kehilangan harta benda, rumah, pekerjaan, bahkan kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, air, dan obat-obatan. Warga Gaza hidup dalam satu garis yang sama. Orang kaya-miskin dan kuat-lemah sama-sama menjadi sasaran pembantaian yang dilakukan Israel.
Hadani dan keluarganya sempat mengungsi ke Pusat Kebudayaan Ortodoks Kristen di Kota Gaza. Namun, dengan serangan Israel yang terus menerus, mereka mengungsi ke Jalur Gaza selatan hanya dua hari sebelum pusat kebudayaan dihancurkan.
Setelah itu, mereka berhasil mengungsi melintasi perbatasan. Tetapi dia merasa bersalah karena meninggalkan orang-orang di Gaza yang harus berjuang melawan kematian setiap hari. Namun, saudaranya, Maher (31 tahun), masih terjebak di Rafah, di mana Israel meminta mereka semua mencari tempat perlindungan sebelum kota itu diserang.
Hanadi mengutip saudaranya Maher, “Penduduk Rafah masih dalam kebingungan setelah mendengar berita bahwa Amerika Serikat menyetujui operasi Israel di Rafah sebagai imbalan untuk tidak menanggapi serangan militer Iran terhadap Israel pada 13 April lalu.”
Ketakutan dan Kekhawatiran
Hadani mengatakan, “Orang-orang dalam keadaan syok, semua pembicaraan di pasar dan jalanan berkisar pada tempat yang akan mereka cari perlindungan jika operasi dimulai di Rafah.”
Dia mencatat, ketakutan melanda Rafah, kota yang lebih dari satu juta orang terpaksa mengungsi ke sana, meningkatkan populasi kota itu menjadi 10 kali lipat. Satu-satunya cara untuk keluar dari Gaza adalah dengan membayar uang kepada perusahaan Mesir untuk mengkoordinasikan perjalanan mereka melalui perlintasan Rafah, dan harga yang harus dibayarkan meningkat seiring meningkatnya krisis.
Ahmad Qishata (40 tahun), seorang petani dan ayah lima anak, mengatakan, Israel mungkin akan menutup satu-satunya perlintasan yang tersedia, yaitu perlintasan Rafah, dan seseorang harus menunggu sekitar 20 hari untuk mendapatkan persetujuan dari Mesir.
“Apakah periode ini akan cukup untuk menyelamatkan diri sebelum invasi? Atau apakah risiko membayar $5.000 yang diperlukan untuk izin ini terlalu besar?”
Hanadi juga mengutip Mustafa Ibrahim, seorang peneliti Palestina dalam bidang HAM, yang mengatakan, bencana akan terjadi di Rafah, “karena tidak akan ada cara untuk membawa bantuan yang sedikit itu masuk ke kota.”