Seorang penulis Israel, Ehud Peleg, menyoroti apa yang ia sebut sebagai “penyakit kronis” dalam pengelolaan institusi dan masyarakat Israel: absennya visi jangka panjang, digantikan kalkulasi sempit demi keuntungan politik sesaat. Menurutnya, pola inilah yang melemahkan kekuatan internal Israel dan mempercepat keretakan di dalam negeri saat menghadapi tantangan besar.

Dalam artikelnya di harian Maariv, Peleg menilai para politisi Israel selama ini membangun budaya manajemen krisis berbasis kepuasan publik instan. Alih-alih merancang solusi strategis, mereka sibuk meredam opini jangka pendek. Dampaknya, masyarakat menjadi semakin rapuh, tidak siap menghadapi ujian besar baik di bidang keamanan maupun sosial.

Peleg menunjuk sejumlah contoh konkret: lemahnya sistem propaganda resmi, kegagalan menahun melindungi ratusan ribu rumah dari ancaman roket, kelambanan dalam isu wajib militer bagi kaum Haredi, serta strategi pemerintah yang menggantungkan diri pada perang panjang yang menguras darah dan sumber daya.

Ia menyebut fenomena ini sebagai “rabun jauh intelektual”. Banyak warga Israel, katanya, melupakan fakta sederhana bahwa “hidup tak berhenti pada satu momen.” Perpecahan sosial (yang dipicu oleh konflik politik dan kampanye saling hasut) menurutnya sama berbahayanya dengan ancaman militer eksternal.

Lebih jauh, Peleg menilai strategi perang Israel dengan mengandalkan apa yang ia sebut “ekonomi amunisi manusia” justru memperparah keletihan prajurit, cadangan militer, keluarga, bahkan fondasi ekonomi. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap kepemimpinan politik kian terkikis dan kemauan berpartisipasi dalam tugas-tugas nasional melemah.

Masalah utamanya, tulis Peleg, adalah keterputusan antara perilaku individu dan daya tahan masyarakat secara kolektif. Politisi mengeksploitasi perpecahan demi memperkuat posisi elektoral, berpikir hanya sejauh pemilu berikutnya, bukan masa depan generasi mendatang.

Mengutip filsuf Immanuel Kant, Peleg mengingatkan, “Bertindaklah seolah perilakumu akan menjadi hukum universal.” Namun di Israel, menurutnya, yang berlaku justru politik emosi sesaat, di mana keputusan strategis diwarnai amarah dan insting, bukan akal sehat dan visi panjang.

Peringatan Peleg jelas: Israel tak bisa terus-menerus menggadaikan masa depannya demi keuntungan sementara. Jika budaya politik rabun jauh ini dibiarkan, warna gelap akan mewarnai tidak hanya hari ini, tetapi juga masa depan Israel sendiri.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here