Masuknya sistem cuaca ekstrem baru ke Jalur Gaza memicu kekhawatiran akan bencana kemanusiaan yang lebih besar. Ketua Persatuan Pemerintah Kota se-Gaza, Yahya Al-Sarraj, memperingatkan bahwa badai kali ini berpotensi lebih ganas dibanding sebelumnya, datang ketika Gaza belum pulih dari kerusakan lama, sementara akses bantuan darurat masih dibatasi ketat oleh Israel.

“Sistem cuaca baru ini datang saat Gaza belum sempat bangkit dari dampak badai sebelumnya. Kami memperingatkan risiko besar di tengah ketiadaan hunian aman dan minimnya sarana pemanas,” ujar Al-Sarraj, yang juga menjabat Wali Kota Gaza, Senin (15/12).

Menurutnya, ancaman kian berlipat seiring cuaca buruk yang berlanjut. Risiko tenda dan pusat pengungsian terendam banjir meningkat, terutama di wilayah rendah dan padat pengungsi. Tim darurat pemerintah kota (bersama pertahanan sipil) bekerja tanpa henti untuk menekan dampak terburuk, namun keterbatasan bahan bakar menjadi hambatan utama pengoperasian alat berat dan stasiun pompa air.

Al-Sarraj juga mengingatkan potensi runtuhnya bangunan rusak yang masih ditempati pengungsi. Badai sebelumnya, kata dia, telah menyebabkan 13 bangunan ambruk dan 11 jenazah warga Palestina dievakuasi dari reruntuhan, sebagaimana data kantor media pemerintah Gaza.

Kerusakan luas akibat badai terakhir merendam ribuan tenda dan ratusan pusat pengungsian, memaksa ribuan keluarga kembali tercerabut. Di saat yang sama, pemerintah kota menghadapi kelangkaan alat dan bahan bakar, serta tertahannya material bangunan penting, khususnya untuk memperbaiki jaringan drainase air hujan.

Dalam situasi genting ini, Al-Sarraj menyerukan intervensi segera lembaga internasional, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan negara-negara mediator. Ia mendesak masuknya hunian sementara (karavan), serta bantuan darurat berupa pakaian musim dingin, selimut, dan alat pemanas untuk meredam penderitaan warga.

Hujan deras yang menyertai badai pada Senin malam kembali menenggelamkan ratusan tenda pengungsi dan menerbangkan banyak di antaranya, terutama di kawasan Asy-Syaliyat dan Tal al-Hawa di Gaza Barat. Laporan jurnalis Al Jazeera menyebut, banjir tenda terjadi di sejumlah wilayah seiring hujan lebat yang berulang.

Ratusan ribu warga Palestina kini hidup dalam kondisi yang jauh dari layak, kekurangan tenda, selimut, dan pakaian hangat untuk melindungi anak-anak dari hujan dan dingin. Pembatasan dan hambatan Israel terhadap masuknya bantuan kemanusiaan memperparah krisis.

Direktur Kantor Media Pemerintah Gaza, Ismail Al-Thawabta, menambahkan bahwa lebih dari seperempat juta pengungsi (dari sekitar 1,5 juta orang) tinggal di tenda dan pusat pengungsian darurat yang tidak memenuhi standar perlindungan minimum. Ia menyebut Israel menahan masuknya sekitar 300 ribu tenda dan rumah mobil, serta menutup perlintasan bagi bantuan darurat, meski ada komitmen dalam kesepakatan gencatan senjata Oktober lalu.

Sejak Oktober 2023, perang genosida Israel di Gaza telah menelan lebih dari 70 ribu korban syahid dan melukai sekitar 171 ribu orang (mayoritas perempuan dan anak-anak) serta menghancurkan sekitar 90 persen infrastruktur sipil. Di bawah langit musim dingin yang kian muram, peringatan pemerintah kota menggema: badai baru bisa menjadi bencana berikutnya bila akses bantuan tetap tersumbat.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here