Perjanjian gencatan senjata antara Hamas dan Israel yang disepakati awal Oktober ini disambut dengan napas lega oleh warga Gaza yang telah dua tahun hidup di bawah perang dan kehancuran. Namun di balik euforia sesaat, para analis memperingatkan: kesepakatan ini rapuh. Ia mungkin menunda kekerasan, tapi belum menyentuh akar krisis yang lebih dalam.
Gencatan senjata ini memberi secercah harapan bagi 2,3 juta penduduk Gaza yang dilanda kelaparan dan keterisolasian. Tapi, menurut para ahli, tanpa komitmen politik yang tegas dan pengawasan internasional yang nyata, stabilitas jangka panjang sulit dicapai. Sebab, kesepakatan itu tak menjawab akar persoalan: pendudukan yang belum berakhir dan penghancuran sistematis terhadap kehidupan sipil Palestina.
Perjanjian ini muncul setelah dua tahun agresi brutal Israel yang menewaskan lebih dari 70 ribu warga Palestina dan melukai 170 ribu lainnya. Di tengah tekanan diplomatik global dan mediasi intensif oleh Mesir, Qatar, dan Turki, Presiden AS Donald Trump mendorong kesepakatan yang akhirnya disahkan secara resmi pada 11 Oktober 2025.
Namun bahkan di hari-hari pertama gencatan, pelanggaran Israel tetap terjadi. Serangan terbatas menewaskan sejumlah warga Palestina, memperlihatkan bahwa jalan menuju perdamaian masih panjang.
Syarat-Syarat agar Gencatan Senjata Tak Runtuh
Para analis yang diwawancarai Al Jazeera Net sepakat: agar gencatan senjata tidak berakhir prematur, beberapa hal harus dipenuhi.
- Keterlibatan aktif Amerika Serikat, disertai tekanan ekonomi dan politik berkelanjutan terhadap Israel.
- Pengawasan internasional yang ketat, serta intervensi cepat terhadap setiap pelanggaran.
- Akses bantuan kemanusiaan tanpa hambatan, dan penarikan pasukan Israel dari wilayah yang disebut dalam perjanjian.
- Pengakuan terhadap peran perlawanan Palestina dalam mengelola Gaza selama masa transisi.
- Rekonsiliasi internal Palestina, demi mengakhiri perpecahan antara Gaza dan Tepi Barat.
Menurut Arib al-Rantawi, Direktur Pusat Kajian Al-Quds, kesepakatan ini hanya mungkin bertahan jika para mediator Arab dan Turki bersikap tegas terhadap Israel. “Tanpa tekanan dari luar, perjanjian ini hanya akan menjadi jeda singkat sebelum kekerasan kembali meledak,” ujarnya.
Sementara International Crisis Group dalam laporannya menilai, gencatan senjata ini lahir bukan dari kesepahaman mendalam, melainkan dari tekanan politik Trump terhadap semua pihak agar segera menghentikan eskalasi. Karena itu, stabilitasnya akan sangat bergantung pada dinamika kekuasaan di Tel Aviv dan Washington.
Latar yang Membentuk Gencatan Ini
Crisis Group mencatat bahwa dorongan langsung bagi perjanjian ini adalah serangan udara Israel pada 9 September lalu terhadap para negosiator Hamas di Doha. Upaya pembunuhan itu memicu kemarahan Qatar dan negara-negara Teluk, yang kemudian bersatu dengan Mesir dan Turki untuk menekan Israel agar menghentikan agresinya.
Namun para analis mengingatkan, Israel tidak berniat mencapai solusi jangka panjang. Analis politik Hossam Shaker menyebut gencatan ini sebagai “waktu untuk bernafas bagi Israel”, bukan tanda perubahan kebijakan. “Israel telah berulang kali menunjukkan kesiapannya melanggar setiap kesepakatan, begitu kondisi politik dalam negerinya berubah,” katanya.
Bagi Muhammad Ghazi al-Jammal, profesor ilmu politik, gencatan ini “adalah hasil dari kelelahan kedua belah pihak.” Hamas, katanya, ingin melindungi rakyatnya dari pembantaian lebih lanjut, sementara Amerika Serikat berupaya mencari prestasi politik untuk menenangkan sekutunya di kawasan.
Skenario yang Mungkin Terjadi
Para pengamat melihat sejumlah skenario atas masa depan gencatan senjata ini:
- Stabilitas rapuh dengan pelanggaran Israel terus-menerus – situasi paling mungkin terjadi.
- Stagnasi di fase pertama, membuat krisis kemanusiaan dan politik terus berlanjut.
- Kembalinya pertempuran, jika para mediator gagal menekan Israel untuk mematuhi perjanjian.
- Upaya menciptakan zona pembangunan terbatas di wilayah tertentu seperti Rafah, untuk menampilkan “kemajuan ekonomi” sebagai imbalan atas berakhirnya perlawanan.
- Kemajuan lambat, menunggu perubahan politik besar di Israel atau kawasan.
Crisis Group memperingatkan bahwa Israel mungkin menggunakan model “Rafah First”, menciptakan ilusi stabilitas di wilayah kecil sambil menyingkirkan pengaruh perlawanan di bagian lain Gaza. Strategi ini, menurut al-Rantawi, “akan memperdalam perpecahan dan meneguhkan narasi bahwa kemakmuran hanya mungkin jika perlawanan berakhir.”
Menuju Perdamaian atau Sekadar Jeda Sementara?
Bagi banyak analis, masa depan Gaza kini tergantung pada keberanian dunia untuk menegakkan keadilan, bukan hanya merayakan jeda kekerasan. Gencatan senjata tanpa mekanisme pengawasan yang kuat hanya akan menjadi istirahat singkat di tengah siklus pembunuhan yang panjang.
“Yang dibutuhkan bukan sekadar penghentian tembakan,” tulis Crisis Group, “tetapi kemauan politik global untuk menegakkan kesepakatan dan memberi ruang bagi rakyat Gaza membangun kembali kehidupan mereka sendiri.”
Selama akar penjajahan belum disingkirkan, setiap perjanjian akan rapuh, setiap janji perdamaian akan kosong. Gaza (yang masih berdiri di atas puing-puing sejak Oktober 2023) tetap menunggu dunia menepati janjinya: bahwa kemanusiaan tidak boleh menjadi korban abadi dari politik kekuasaan.










