Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas kembali memicu perdebatan setelah menerbitkan dekret pembentukan Komite Penyusunan Konstitusi Sementara, yang disebut sebagai bagian dari persiapan menuju pemilu umum. Dekret ini diumumkan Senin lalu melalui kantor berita resmi Palestina, WAFA.

Keputusan ini menuai sorotan karena Palestina sejatinya sudah memiliki draf konstitusi sejak era Yasser Arafat, meski belum final. Sejumlah pakar menilai langkah Abbas bermasalah: dari komposisi anggota, legitimasi kewenangan, hingga ketidakcocokan situasi politik saat ini.

Isi Dekret dan Komposisi Komite

Menurut WAFA, komite ini dibentuk sebagai “rangka transisi dari otoritas menuju negara”, dengan dasar hukum Deklarasi Kemerdekaan 1988, prinsip hukum internasional, serta konvensi HAM global. Abbas menunjuk Muhammad al-Hajj Qasim sebagai ketua bersama 17 anggota lain, serta menjanjikan platform daring untuk menampung usulan publik, baik dari dalam maupun luar negeri.

Namun langkah ini mengingatkan pada upaya serupa sejak 1999 ketika Arafat menunjuk Nabil Shaath memimpin penyusunan draf. Meski beberapa versi pernah disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Palestina pada 2002 dan 2003, proses penyusunan konstitusi penuh tak pernah tuntas. Abbas sendiri juga pernah membentuk komite konstitusi pada 2011 tanpa hasil konkret.

Kritik dan Keraguan

Pakar hukum Palestina, Salah Musa, menilai langkah Abbas kali ini “mengejutkan” dan tidak sesuai kebutuhan. Menurutnya, konstitusi sementara biasanya hanya dibentuk di masa krisis besar seperti perang dunia, sementara Palestina sudah memiliki landasan hukum berupa Undang-Undang Dasar. Musa juga mempertanyakan mekanisme pengesahan draf: apakah cukup melalui presiden, Dewan Nasional, atau lembaga lain.

Ia bahkan menilai dekret ini rawan disalahgunakan: untuk mengecualikan kelompok politik tertentu, melemahkan Dewan Legislatif, dan memperkuat kekuasaan di tangan Dewan Nasional yang selama ini tak efektif.

Hal senada disampaikan Hasan Khreisha, mantan wakil ketua Dewan Legislatif. Ia menyebut pembentukan komite baru menunjukkan “ketidaksambungan dengan realitas politik,” mengingat prioritas saat ini adalah menghentikan agresi Israel, bukan membuka wacana konstitusi baru.

Motif Politik di Balik Waktu

Pengamat menduga dekret ini tak sekadar soal hukum, melainkan pesan politik menjelang sidang Majelis Umum PBB September mendatang. Abbas disebut ingin menunjukkan keseriusannya mengejar pengakuan negara Palestina, sekaligus memenuhi tekanan eksternal (terutama dari AS dan Eropa) tentang “hari setelah perang” di Gaza.

Namun kritik mengingatkan: tanpa lembaga legislatif yang sah, referendum rakyat, dan kondisi politik yang stabil, langkah Abbas bisa dianggap “lompatan di udara” yang justru makin melemahkan legitimasi internal Otoritas Palestina.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here