Sekelompok pakar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Kamis mengecam eskalasi kampanye pemusnahan terhadap rakyat Palestina di Gaza. Mereka menuduh Israel menggunakan kelaparan sebagai senjata perang yang brutal, tindakan yang secara jelas dikategorikan sebagai kejahatan di bawah hukum internasional.

Dalam pernyataan resmi, para pakar menyoroti bahwa perintah pengusiran yang dikeluarkan otoritas Israel menyasar titik-titik terakhir operasi kemanusiaan di Gaza, termasuk serangan udara mematikan terhadap fasilitas Palang Merah Palestina. Mereka menyebut lebih dari 500 ribu orang (seperempat penduduk Gaza) sudah berada di ambang kelaparan, sementara seluruh penduduk lainnya hidup dalam kondisi darurat pangan. Semua anak di bawah lima tahun, berjumlah 320 ribu jiwa, kini terancam mengalami malnutrisi akut.

“Warga Gaza, terutama anak-anak, sedang mati massal akibat kelaparan, minimnya akses pangan, air, layanan kesehatan, dan tempat tinggal,” tegas mereka. Menurut para pakar, jeda kemanusiaan maupun pengiriman bantuan melalui udara hanyalah solusi kosmetik yang tak sebanding dengan besarnya krisis. Mereka menuntut masuknya bantuan kemanusiaan tanpa hambatan, secara berkelanjutan, dan dalam jumlah yang cukup.

Dari Krisis Pangan ke Tuduhan Genosida
Pakar PBB menyebut pembatasan ilegal Israel terhadap bantuan kemanusiaan telah menciptakan kondisi yang secara efektif mengarah pada “penghancuran fisik” rakyat Palestina di Gaza. Hal ini, kata mereka, termasuk dalam definisi genosida di bawah hukum internasional, sejajar dengan pembunuhan massal dan kelaparan sistematis yang kini terjadi.

Mereka menuding Israel melakukan pemusnahan “dengan segala cara yang mungkin”, termasuk menembak mati lebih dari seribu warga Palestina saat mengantre bantuan. Ironisnya, 70% kematian itu terjadi di lokasi distribusi yang dioperasikan oleh “Lembaga Kemanusiaan Gaza” yang didukung AS dan Israel. Angka itu menambah daftar korban serangan Israel sejak dimulainya perang: lebih dari 59 ribu tewas dan 140 ribu luka-luka akibat serangan membabi buta.

Perintah pengusiran terbaru, menurut mereka, memaksa para penyintas untuk menumpuk di area yang hanya mencakup 12% dari luas Gaza. Usulan Israel memindahkan warga secara paksa ke “kota kemanusiaan” di perbatasan Mesir mereka sebut tak ubahnya rencana membangun kamp konsentrasi, dengan kondisi yang menekan warga Gaza hingga akhirnya meninggalkan tanah airnya.

Kecaman terhadap Tindakan Internasional
Para pakar menegaskan genosida ini dimungkinkan karena adanya “tanggung jawab bersama” negara-negara yang terus melindungi Israel dari konsekuensi politik dan diplomatik. Negara-negara tersebut, kata mereka, bahkan menekan kebebasan berekspresi warganya yang mengkritik kejahatan ini, sambil tetap memasok senjata, berdagang, dan memberi dukungan ekonomi bagi Israel.

Mereka juga menuding PBB gagal menyebut situasi di Gaza secara tegas sebagai genosida, meski bukti dan pernyataan publik para pemimpin Israel mengarah jelas pada niat memusnahkan Gaza melalui kelaparan. Uni Eropa pun dikritik karena tidak menjatuhkan sanksi, meski Israel jelas melanggar komitmen hak asasi manusia dalam perjanjian kemitraan dengan blok tersebut.

Peringatan Terakhir
“Tanpa tindakan internasional yang segera,” para pakar memperingatkan, “ungkapan ‘tak akan pernah terjadi lagi’ tidak lagi berarti mencegah genosida, melainkan akan menjadi epitaf berakhirnya kehidupan Palestina di Gaza.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here