Sebuah kafe santai di tepi pantai Gaza mendadak berubah menjadi panggung pembantaian berdarah yang dikenal sebagai “Pembantaian Kafetaria Al-Baqa”. Tempat yang seharusnya menjadi tempat istirahat dari tekanan pembantaian dan blokade, berubah sekejap menjadi medan kematian dan kenangan berdarah yang tak akan pernah hilang dari ingatan warga Gaza yang terkepung.
Para pengunjung kafe bukanlah siapa-siapa selain para pengungsi yang menghindari pengeboman, para jurnalis yang sedang merekam penderitaan rakyat, dan para mahasiswa yang sekadar mencari sinyal untuk memberi kabar bahwa mereka masih hidup.
Namun roket yang menghantam tempat itu seolah menutup semua pintu, mendefinisikan kembali hidup dan mati ala Gaza: tak ada tempat aman, tak ada jeda.
Ketika gambar-gambar darah dan potongan tubuh tersebar di media sosial, gelombang duka dan keterkejutan melanda ribuan netizen. Mereka bertanya-tanya, bagaimana mungkin dua kata “pembantaian” dan “kafetaria” bisa bergabung di satu tempat?
Seorang warganet menulis: “Bayangkan ironi besar antara kata ‘pembantaian’ dan ‘kafetaria’. Siapa yang sangka tempat yang dibuat untuk bersantai di tepi laut justru berubah menjadi kolam darah berisi potongan tubuh manusia?”
Banyak yang mengatakan, Gaza adalah satu-satunya tempat di dunia di mana kontradiksi tak butuh definisi, karena di sana genosida telah mengubah segalanya secara brutal. Mereka yang duduk di kafe itu bukan untuk bersantai, melainkan untuk mencari setitik kehidupan di tengah kobaran maut.
Para aktivis menegaskan, setiap upaya kecil anak muda Gaza untuk merasakan sepotong hidup atau sekadar bernafas sebentar di luar suasana berdarah, selalu dibungkam seketika oleh bom. “Baqa” bukan sekadar kafe, tapi rumah, tempat berkumpul sahabat dari utara hingga selatan Gaza, yang kini berubah jadi kuburan massal dalam hitungan detik.
Kisah-kisah terakhir para syahid
Banyak yang berjanji pada keluarga mereka akan mencicipi “napas damai” di tepi laut, mencoba sejenak melupakan kematian yang mengepung di mana-mana. Namun, roket penjajah merenggut momen itu, mengubah senyum menjadi ratap, hari itu menjadi luka baru dalam daftar panjang tragedi.
“Baqa” bukan sekadar tempat makan, tapi rumah kedua bagi para pemuda Gaza. Hari itu, tawa dan pertemuan spontan berubah menjadi sunyi abadi, meninggalkan jasad berserakan di pasir, ibu-ibu menjerit histeris, ayah-ayah merangkak mencari potongan tubuh anak mereka di ombak.
Seorang aktivis menulis: “Kafetaria Baqa bukan hanya tempat ngopi, dia nafas terakhir kami. Kini, ia jadi tempat jagal dan makam bersama.”
Pantai, saksi bisu
Di tepi laut yang biasanya menjadi pelarian terakhir keluarga dari bom, terjadi pembantaian tanpa ampun. “Pasir yang tadinya tertawa di bawah kaki anak-anak, dan ombak yang sejenak menenangkan ketakutan, kini dipenuhi darah, bukan lagi kerang,” tulis seorang warganet.
Seorang lainnya menulis: “Dalam sekejap, Baqa yang menyatukan tawa, makan sederhana, dan keluarga, menjadi bisu abadi. Tubuh terpotong, ibu berteriak tak menemukan anaknya, ayah mencari kepala anaknya di antara ombak.”
Mereka bertanya dengan getir: “Apa salah mereka? Ancaman apa yang mereka bawa saat duduk di pantai kosong selain cinta pada kehidupan? Itu adalah piknik terakhir, senyum terakhir. Laut menjadi saksi pembantaian penuh.”
Panggung kejahatan total
Momen damai berubah jadi panggung kejahatan brutal dalam hitungan detik. Bangku yang tadinya dipakai duduk berubah penuh potongan tubuh, suara tawa lenyap diganti jerit kesakitan, aroma laut berganti darah yang disapu ombak kebisuan dunia Arab.
Serangan itu tanpa peringatan, merenggut puluhan jiwa seketika, sebagaimana mimpi-mimpi mereka dibunuh di Gaza yang tak pernah diizinkan bernapas.
Menurut sumber medis di Rumah Sakit Al-Shifa kepada Al Jazeera, 34 warga — mayoritas wanita dan anak-anak — syahid dalam serangan ini, dan jumlah korban masih bisa bertambah akibat luka parah.