Saat Hamas menunjukkan kesiapan untuk menyelesaikan tahap pertama kesepakatan gencatan senjata di Gaza dan memasuki tahap kedua, Israel terus menunda dengan mencoba menetapkan syarat-syarat baru.
Menurut analis politik Ahmad Al-Hilah, Hamas telah memenuhi tuntutan Presiden AS Donald Trump, yang menginginkan pembebasan para tawanan Israel dalam satu tahap sekaligus.
Ketua Hamas di Gaza, Khalil Al-Hayya, dalam pernyataannya Selasa kemarin, mengumumkan bahwa pihaknya akan menyerahkan jenazah empat tahanan Israel pada Kamis dan enam tawanan hidup pada Sabtu sebagai bagian dari implementasi tahap pertama gencatan senjata.
Al-Hilah menilai bahwa Hamas telah mengambil langkah “strategis yang cerdas” dengan menyepakati pembentukan komite teknokrat independen yang mendapat legitimasi dari kesepakatan internal Palestina.
Komite ini akan berfungsi sebagai pengelola Gaza setelah perang, memenuhi keinginan pihak-pihak yang tidak ingin melihat Hamas berkuasa.
Hamas bahkan setuju untuk menghubungkan komite ini dengan pemerintah di Ramallah dan membentuknya melalui dekrit Presiden Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas.
“Dengan demikian, langkah ini menawarkan solusi bagi perdebatan soal pemerintahan Gaza,” ujarnya.
Di sisi lain, menurut analis urusan Israel, Ihab Jabarin, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengirimkan dua sinyal penting.
Pertama, melalui pernyataan Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Sa’ar, yang menegaskan bahwa “Israel tidak ingin melihat Hamas di Gaza setelah perang.”
Kedua, dengan menunjuk Menteri Urusan Strategis Ron Dermer, sosok yang dekat dengan Amerika Serikat, untuk memimpin negosiasi tahap kedua gencatan senjata.
Jabarin menjelaskan bahwa Dermer akan memimpin pembicaraan langsung dengan pemerintahan Trump, yang mencerminkan adanya tekanan AS terhadap Netanyahu.
Dalam pernyataannya kemarin, Menteri Luar Negeri Israel mengatakan bahwa negosiasi tahap kedua akan dimulai pekan ini, dengan tuntutan utama Israel adalah perlucutan senjata total di Gaza.
Ia mengklaim bahwa Hamas berencana mengadopsi model Hizbullah dengan menyerahkan pemerintahan sipil kepada Otoritas Palestina atau kelompok lain, tetapi tetap menjadi kekuatan militer dominan di Gaza.
Israel bersikeras untuk sepenuhnya melucuti senjata Gaza dan menolak keberadaan Hamas atau kelompok bersenjata lainnya di wilayah tersebut.
“Kami menuntut mekanisme eksekusi untuk memastikan hal itu terjadi,” tegasnya.
Jabarin juga mencatat bahwa Israel menghindari menyebut kehadiran militernya di Gaza secara langsung, tetapi terus bermanuver agar alternatif pemerintahan berasal dari AS. Menurutnya, Washington kini melempar bola ke negara-negara Arab di kawasan untuk mengusulkan solusi, dan Israel siap menerima alternatif yang diajukan.
Dia menambahkan bahwa jika negara-negara Arab mengajukan solusi tersebut dengan dukungan AS, Israel tidak akan menolaknya.
“Inilah jebakan yang menjerat Netanyahu,” ujarnya.
Namun, pertanyaan utama tetap: apakah Israel akan menandatangani gencatan senjata penuh di Gaza dalam tahap kedua ini, bersamaan dengan pembentukan pemerintahan baru yang bertanggung jawab atas rekonstruksi?
Sementara itu, Al-Hilah menegaskan bahwa tahap kedua gencatan senjata seharusnya mencakup penarikan penuh pasukan Israel dari Gaza dan penghentian perang secara permanen, dengan imbalan pembebasan semua tahanan Israel oleh Hamas.
“Masalahnya, Israel terus menunda dan mempersoalkan kembali hal-hal yang telah dibahas para mediator selama setahun penuh,” ujarnya.
Dalam pidatonya, Khalil Al-Hayya menegaskan bahwa Hamas siap segera bernegosiasi terkait tahap kedua, yang mencakup “gencatan senjata penuh, penarikan total pasukan Israel dari Gaza, dan pertukaran tahanan secara menyeluruh dalam satu paket kesepakatan.”
Ia juga menekankan perlunya jaminan internasional yang mengikat, sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 2735.
Sumber: Al Jazeera