Spirit of Aqsa- Setahun setelah dimulainya operasi Taufan Al-Aqsa, dampaknya sangat besar dan kuat di Israel. Operasi ini meninggalkan luka mendalam di masyarakat serta petinggi militer dan politik, menyebabkan kegagalan di berbagai bidang seperti politik, ekonomi, dan keamanan.
Israel mengalami penurunan legitimasi internasional, perpecahan internal yang mendalam, dan lambatnya proses normalisasi dan perdamaian regional. Selain itu, tembok keamanan yang selama ini menjadi simbol ketangguhan Israel, mengalami pukulan besar, yang menyebabkan berkurangnya rasa aman di kalangan publik Israel dan mendorong terjadinya migrasi balik secara besar-besaran.
Upaya Israel untuk memulihkan reputasi dan daya tangkalnya semakin sulit, terutama setelah pembantaian di Gaza yang semakin merusak citra politik dan legitimasi Israel. Hal ini juga meningkatkan biaya dukungan bagi Israel di mata para sekutunya, seperti Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa.
Sebuah survei yang dipublikasikan oleh Jerusalem Post pada Desember 2023 mengungka, 51% pemuda Amerika percaya bahwa solusi jangka panjang untuk konflik Israel-Palestina adalah “mengakhiri Israel dan menyerahkan kekuasaan kepada Hamas dan Palestina.”
Di Inggris, survei lain yang dilakukan pada Juni 2024 oleh Focal Data menunjukkan bahwa mayoritas pemuda di sana tidak mendukung keberadaan Israel.
Kerjasama Militer
Sentimen global terhadap Israel berdampak pada sikap beberapa negara terhadap perang di Gaza dan tingkat kerjasama militer dengan pasukan pendudukan. Pengadilan Belanda pada Februari 2024 memerintahkan pemerintah untuk menghentikan pasokan komponen pesawat tempur F-35 ke Israel.
Belgia membatasi penjualan senjata, dan pemerintah Belgia bahkan melancarkan kampanye untuk melarang penjualan senjata serupa di tingkat Uni Eropa. Pada Maret 2024, parlemen Kanada memutuskan menghentikan penjualan militer ke Israel.
Pada Januari 2024, Menteri Luar Negeri Spanyol menyatakan bahwa Spanyol tidak lagi menjual senjata ke Israel sejak Oktober 2023. Pada Mei 2024, Madrid mengumumkan bahwa kapal yang membawa senjata ke Israel tidak boleh bersandar di pelabuhan Spanyol.
Menteri Luar Negeri Italia, Antonio Tajani, juga mengumumkan bahwa Italia tidak akan mengirimkan lebih banyak senjata ke Israel setelah Oktober 2023. Pada September 2024, Menteri Luar Negeri Inggris, David Lammy, mengatakan bahwa London menangguhkan 30 dari 350 izin ekspor senjata ke Israel.
Namun, negara-negara pengekspor senjata terbesar ke Israel, seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Denmark, menolak tekanan publik dan melanjutkan pasokan tanpa perubahan berarti. Meski begitu, diharapkan bahwa sentimen global akan mempengaruhi kebijakan mereka di masa depan, mengingat penolakan yang lebih besar dari kalangan muda terhadap narasi dan kejahatan Israel dibandingkan generasi yang lebih tua.
Institusi Internasional
Sepanjang agresi yang terus berlanjut di Gaza, Israel semakin terlihat sebagai negara yang memberontak terhadap institusi internasional. Israel menolak berbagai keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga internasional, termasuk:
– Resolusi Dewan Keamanan PBB pada 25 Maret 2024 yang menyerukan gencatan senjata selama bulan Ramadan yang berujung pada gencatan senjata permanen.
– Resolusi Dewan Keamanan pada 10 Juni 2024 yang menyerukan penghentian penuh semua aksi kekerasan dan pembebasan sandera.
– Keputusan Mahkamah Internasional pada 26 Januari 2024 untuk mengambil langkah-langkah sementara “mencegah genosida terhadap warga Palestina di Gaza, menyediakan layanan dasar dan bantuan kemanusiaan, serta menghukum penghasutan untuk genosida.”
– Keputusan Mahkamah Internasional pada 24 Mei 2024 yang menuntut penghentian serangan militer di Rafah.
– Pada 20 Mei 2024, Mahkamah Pidana Internasional untuk pertama kalinya dalam sejarah Israel, mengajukan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, Menteri Pertahanan Yoav Galant, serta tiga pemimpin Hamas.
Majelis Umum PBB juga mengajukan permohonan kepada Mahkamah Internasional untuk menjelaskan dampak dari pendudukan Israel yang terus berlanjut. Pada September 2024, Majelis Umum mengeluarkan resolusi yang menyerukan penarikan Israel dari wilayah pendudukan sejak 1967 dalam waktu 12 bulan, sebuah keputusan yang mencerminkan kemarahan dunia terhadap pelanggaran Israel terhadap institusi internasional, hak-hak Palestina, dan nilai-nilai kemanusiaan.
Perpecahan Internal yang Belum Pernah Terjadi
Perang juga memperdalam perpecahan politik dan sosial di Israel. Tindakan pejuang Palestina yang menawan sekitar 240 warga Israel serta ketidakpedulian Netanyahu terhadap isu ini telah menjadi sorotan utama bagi oposisi terhadap kebijakan koalisi yang berkuasa.
Begitu pula dengan pengungsian puluhan ribu warga Israel dari utara dan selatan negara itu, yang menuduh pemerintah mereka gagal melindungi mereka dan memperlakukan mereka secara tidak adil dibandingkan warga di pusat negara.
Perpecahan ini juga muncul dalam bentuk debat agama terkait wajib militer bagi Yahudi ultra-ortodoks (Haredim) dan perselisihan politik serta militer terkait kegagalan Israel pada 7 Oktober 2023, prioritas perang, dan apakah perang harus dilanjutkan atau dihentikan.
Perselisihan ini semakin nyata ketika Menteri Pertahanan Israel, Yoav Galant, secara terbuka menentang rencana Netanyahu tentang Gaza pasca-perang. Dalam konferensi pers pada Mei 2024, Galant menolak ide pemerintahan militer Israel di Gaza, menyebutnya sebagai langkah yang berdarah dan mahal serta akan berlangsung selama bertahun-tahun.
Demonstrasi besar-besaran yang menentang pemerintah di puncak perang merupakan hal yang belum pernah terjadi sebelumnya di Israel. Selain itu, banyaknya bocoran informasi terkait manajemen perang menunjukkan bahwa Netanyahu menggunakan beberapa konflik ini untuk mengecoh musuh-musuhnya dan bermanuver menghadapi tekanan, terutama dari Amerika Serikat.
Normalisasi yang Melambat
Di tingkat hubungan regional, perang memperlambat proses normalisasi dengan negara-negara Arab. Hubungan dengan Arab Saudi tampak tertunda menunggu komitmen Israel terhadap penyelesaian dua negara.
Sementara itu, Uni Emirat Arab menjauhkan diri dari pernyataan Israel mengenai biaya rekonstruksi Gaza. Konflik juga muncul antara Israel dan Mesir terkait rencana pengungsian warga Gaza dan kontrol Israel atas Jalur Salahuddin dan perbatasan Rafah. Hubungan dengan Yordania juga menegang karena kekhawatiran akan pengungsian warga Tepi Barat.
Meskipun konflik ini tidak sepenuhnya merusak proses normalisasi yang telah berlangsung, operasi “Thufan Al-Aqsa” memperlambat laju kemajuannya dan memicu keraguan publik tentang efektivitas perjanjian dalam menghentikan agresi Israel.
Celah dalam Tembok Keamanan
Operasi Taufan Al-Aqsa membuktikan bahwa tembok keamanan Israel, yang selama ini dipandang tak tertembus, dapat dilanggar. Perang ini menelan biaya besar bagi Israel, dengan 1.697 tentara tewas dan sekitar 5.000 lainnya terluka, 695 di antaranya mengalami luka parah. Selain itu, 19.000 warga sipil Israel terluka dan 143.000 warga mengungsi dari utara dan selatan negara tersebut.
Serangan pada 7 Oktober 2023, yang tidak terduga dan gagal dihadapi oleh militer Israel, menghancurkan kepercayaan publik terhadap angkatan bersenjata dan negara. Survei yang dilakukan oleh Kan, saluran penyiaran resmi Israel, pada Oktober 2024 menunjukkan bahwa sekitar seperempat warga Israel mempertimbangkan untuk beremigrasi karena situasi politik dan keamanan saat ini.
Data resmi dari Biro Statistik Pusat Israel juga menunjukkan peningkatan signifikan dalam fenomena emigrasi warga Israel ke luar negeri selama perang.
Di sisi lain, Israel berusaha memulihkan daya tangkalnya dengan melakukan penghancuran besar-besaran di Gaza, berharap dapat mendorong pengungsian lebih lanjut dari wilayah tersebut.
Di front utara, Israel berhasil mengurangi kerugian citranya dengan menghancurkan infrastruktur militer Hizbullah dan menargetkan para pemimpin politik dan militer utamanya, termasuk Hasan Nasrallah.
Namun, ketegangan ini juga mendorong Israel ke tepi perang regional, termasuk dua kali konfrontasi langsung dengan Iran, yang merupakan ancaman terbesar bagi keamanan Israel, serta ancaman bagi kepentingan AS dan sekutunya di kawasan.
Dukungan yang Mahal
Selama setahun, perang meningkatkan biaya dukungan Israel di mata para sekutu Baratnya, terutama Amerika Serikat. Israel kini semakin menjadi beban bagi sekutunya, alih-alih menjadi mitra strategis di kawasan.
Kebutuhan Israel akan perlindungan internasional semakin terlihat, dengan penurunan posisi politiknya di mata dunia. Hal ini juga tercermin dari penurunan peringkat kredit Israel, yang menunjukkan meningkatnya risiko di masa depan.
Sumber: Al Jazeera