Indonesiainside.id- Majalah The Economist melaporkan, Hamas telah memindahkan sebagian pasukannya ke tempat lain di Gaza, tetapi akan menempatkan satu batalion di Rafah untuk menghadapi militer Israel.
Selain itu, para jenderal militer telah lama mengeluh tentang kurangnya rencana dari Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu setelah perang berakhir.
“Tidak akan ada konfrontasi tragis antara Hamas dan militer Israel di Rafah, karena seperti kebanyakan gerakan perlawanan, Hamas akan menghindari konfrontasi langsung dengan musuh yang lebih superior dalam hal persenjataan dan peralatan,” demikian laporan The Economist, Sabtu (18/5/2024).
The Economist menjelaskan, Israel mengklaim serangan di Rafah, Jalur Gaza selatan penting untuk menghancurkan kekuatan Hamas. Namun, dunia internasional telah mengingatkan, invasi Rafah hanya berubah menjadi tragedi kemanusiaan yang mengancam puluhan ribu nyawa warga sipil.
Israel Terlalu Berlebihan
The Economist menyebut pandangan tentang Rafah sebagai benteng terakhir Hamas sebagai sesuatu yang berlebihan. Setelah delapan bulan perang, Israel tidak memiliki rencana untuk mencegah Hamas merebut kembali wilayah lain di Gaza. Penolakan Netanyahu untuk membahas pengaturan pasca-perang telah menyebabkan keretakan dengan Presiden AS Joe Biden dan para jenderal militer Israel.
Para ahli strategi sering berbicara tentang “pendekatan membangun yang jelas untuk melawan pemberontakan melalui pembersihan area dari militan, mempertahankan keuntungan, dan membangun alternatif.”
Namun, Israel hanya melakukan pembersihan. Selain koridor Netzarim, hampir tidak ada kehadiran militer Israel di Gaza dalam dua bulan terakhir, yang menciptakan kekosongan yang coba diisi oleh Hamas.
Pekan ini, perselisihan didalam pemerintah Israel mengenai perang mulai terungkap, setelah Menteri Pertahanan Yoav Gallant meminta Netanyahu untuk memberikan strategi yang jelas seiring kembalinya militer ke area yang sebelumnya telah dinyatakan mencapai tujuannya.
Selain mengklaim telah membongkar 19 dari 24 batalion Hamas dan berjanji mengembalikan tawanan di Gaza, Netanyahu belum menetapkan tujuan strategis yang jelas untuk mengakhiri perang yang telah menyebabkan lebih dari 35.000 warga Palestina gugur serta puluhan ribu terluka, hilang, dan mengungsi.