Spirit of Aqsa, Palestina- Kolumnis Surat Kabar Israel, Haaretz, mengakui kekalahan militer zionis Israel dalam operasi Taufan Al-Aqsa. Kedunya menilai PM penjajah Israel, Benjamin Netanyahu, merupakan sosok paling bertanggungjawab atas kekalahan tersebut.
“Apa pun yang terjadi dalam putaran perang antara Israel dan Gaza ini, kita benar-benar telah kalah. Hanya Benjamin Netanyahu yang bertanggung jawab atas bencana yang menimpa Israel. Apa pun reaksi atas operasi pada Sabtu (7/10), tidak akan ada gunanya.”
Ungkapan ini merangkum pendapat dua kolumis surat kabar Israel Haaretz mengenai operasi yang dilakukan Brigade Qassam kemarin. Pendapat itu tertulis dalam sebuah artikel berjudul “Apa pun yang terjadi dalam putaran perang antara Israel dan Gaza ini, kami telah kalah.”
Penulis surat kabar Haim Levinson mengatakan, semua yang dilakukan Israel mulai sekarang tidak akan ada artinya. Bahkan, jika militer Israel menemukan Muhammad al-Deif, komandan brigade Izz al-Din al-Qassam, berada di tempat persembunyiannya. Ini tidak ada artinya, karena kekalahan itu diselesaikan dengan tamparan pertama, dan segala sesuatu yang terjadi setelahnya hanya omong kosong.
Penulis ini mencibir penamaan “Operasi Pedang Besi” oleh militer Israel atas sebagai reaksi terhadap serangan Palestina. Operasi ini sebenarnya adalah “Operasi Menurunkan Celana”, yang menunjukkan bahwa seluruh tentara Israel dan dinas keamanan Shin Bet, senjata drone, penyadapan canggih, kecerdasan manusia serta kemampuan untuk mengekstrak informasi dari sumber manusia, ditambah lagi kecerdasan buatan yang mereka gunakan, dan apa yang disebut “unit elit jenius (Signet 8200), semua sarana ini tidak mampu mengendus rencana diam-diam Brigade Al-Qassam.
Hal ini membuatnya menegaskan bahwa keberhasilan Hamas dalam operasi ini merupakan peristiwa strategis bagi Negara Israel, karena menyebabkan runtuhnya rasa aman di kalangan warga Israel dan mengungkap aib dan kelemahan tentara Israel.
Dia mengatakan bahwa semua ini memperkuat perasaan yang berkembang di kalangan warga Israel mengenai tidak adanya negara, dan menunjukkan bahwa masalahnya bukan lagi “jika sesuatu terjadi pada saya, seseorang akan datang untuk menyelamatkan saya.” Sebaliknya, yang ada di sini adalah orang-orang yang celaka dan tidak menemukan siapa pun yang membantu mereka.
Dua Skenario
Penulis Israel mengaitkan situasi menyedihkan ini dengan 14 tahun pemerintahan Netanyahu, sebuah pemerintah yang kecanduan berbohong, yang mengakibatkan “sedikit demi sedikit kaburnya Israel yang mengancam keberadaan kita di sini.”
Levinson menilai bahwa Israel sedang mengalami titik balik saat ini melalui salah satu dari dua skenario: di bawah skenario optimis, “kami akan mengusir kelompok pemimpin yang gagal ini dan memilih orang-orang yang berbakat dan berkualitas yang dapat membuat negara ini kembali berfungsi.”
Sementara skenario pesimistis, faksi fasis di pemerintahan akan mengeksploitasi krisis baru ini untuk mengidentifikasi musuh dan pengkhianat di dalam Israel yang bertanggung jawab atas bencana tersebut.
Dari sudut pandang yang sama, Alon Pinkas, seorang penulis di surat kabar yang sama, mengatakan bahwa serangan Hamas kemarin, Sabtu, adalah bencana Israel yang melampaui semua standar, karena negara yang dipimpin oleh Netanyahu dan tentaranya gagal melindungi warganya.
Menurut Pinkas, pasti ada dampak militer, diplomatik, regional dan politik terhadap operasi ini. Namun evaluasi yang dilakukan pada tahap ini masih terlalu dini dan menimbulkan banyak spekulasi dengan Gaza pada tingkat keamanan dan politik dan dalam menangani masalah Palestina secara umum.
Selain kegagalan intelijen yang sangat besar, penulis – mantan diplomat Israel – menyebutkan kegagalan Israel lainnya pada tingkat taktis, operasional dan strategis. Pinkas mengingatkan, apa yang sudah lama diusung Netanyahu, bahwa ia akan menumbangkan Hamas, padahal itu tidak akan mudah.
Dalam hal ini, ia mengutip bocoran dokumen yang disiapkan oleh intelijen militer Israel setelah Operasi Protective Edge pada 2014. Dokumen itu menegaskan kepada Netanyahu bahwa melenyapkan Hamas akan membutuhkan perang selama lima tahun dan banyak pengorbanan, termasuk ancaman perdamaian dengan Mesir.
Dia menyimpulkan dengan mengatakan, “Apakah Hamas bertindak melawan pendudukan Israel atau aneksasi yang meluas, dan apakah itu adalah oportunisme yang mungkin terjadi karena krisis politik di Israel, dan apakah motifnya adalah untuk menentang usulan kesepakatan normalisasi Saudi, Sabtu, 7 Oktober tetap adalah bukti aturan main telah berubah dan aib bagi Israel.