Sejak Israel memperluas pendudukannya di Tepi Barat dan Jalur Gaza pada tahun 1967, kamp-kamp pengungsi Palestina terus menjadi hambatan bagi tentara Israel dalam upayanya untuk mengendalikan keamanan di wilayah tersebut. Hal ini masih berlangsung hingga kini, terutama di kamp-kamp pengungsi di Tepi Barat, seperti di Jenin, yang terletak di utara wilayah tersebut.
Menurut laporan yang disusun oleh Sohib Al-Asa untuk Al Jazeera, terdapat 30 kamp pengungsi Palestina di wilayah yang diduduki Israel—22 di Tepi Barat dan 8 di Jalur Gaza. Kamp-kamp ini dipenuhi oleh warga Palestina yang melarikan diri dari kebrutalan kelompok-kelompok bersenjata Zionis.
Seiring waktu, kamp-kamp pengungsi ini menjadi tempat lahirnya berbagai faksi pejuang Palestina. Hal ini membuat kamp-kamp tersebut berubah dari sekadar permukiman pengungsi menjadi ancaman keamanan bagi pendudukan Israel.
Kepadatan Penduduk dan Infrastruktur yang Menguntungkan Perlawanan
Dibandingkan dengan kota dan desa Palestina lainnya, kamp pengungsi memiliki dua karakteristik utama yang terbentuk seiring waktu.
Pertama, kepadatan penduduk yang sangat tinggi. Sekitar 2,8 juta warga Palestina tersebar di 30 titik geografis kecil dan terisolasi. Di Kamp Jenin, misalnya, 16.000 warga Palestina tinggal di area yang tidak lebih dari 1,4 kilometer persegi. Kamp ini pun berkembang menjadi komunitas besar, di mana setiap orang mengenal satu sama lain dengan erat.
Seiring dengan meningkatnya konfrontasi dan perlawanan terhadap pendudukan, kondisi ini memberikan keuntungan bagi para pejuang. Mereka dapat bergerak bebas dari satu rumah ke rumah lain dengan dukungan sosial yang kuat.
Selain itu, proses perekrutan anggota baru ke dalam faksi pejuang menjadi lebih mudah melalui interaksi langsung dan spontan yang tidak menarik perhatian intelijen Israel.
Kedua, infrastruktur kamp yang memburuk seiring waktu justru menjadi faktor pendukung bagi para pejuang. Kamp-kamp pengungsi, khususnya di Tepi Barat, dikenal dengan jalan-jalannya yang sempit dan gang-gangnya yang kecil.
Hal ini memungkinkan para pejuang bergerak dengan cepat di antara atap rumah dan berpindah dari satu lingkungan ke lingkungan lain dengan mudah. Karena mereka adalah penduduk asli kamp tersebut, mereka memiliki keunggulan dalam hal persembunyian dan mobilitas dibandingkan tentara pendudukan Israel.
Upaya Israel Mengubah Geografi dan Demografi Kamp
Ketidakmampuan Israel untuk mengendalikan kamp-kamp ini telah mendorongnya menerapkan strategi baru dalam menghadapi kamp pengungsi di Tepi Barat. Israel kini berusaha mengubah geografi dan demografi kamp-kamp tersebut, sebagaimana yang saat ini dilakukan di Kamp Jenin.
Berbagai rekaman video yang bocor menunjukkan bagaimana Israel berupaya mengubah struktur wilayah kamp secara paksa.
Salah satu cara yang digunakan Israel dalam mengubah demografi kamp adalah dengan memaksa warga mengungsi. Mereka yang meninggalkan rumahnya di kamp sering kali kembali dan mendapati rumah mereka telah dihancurkan, digantikan oleh jalan-jalan baru.
Hal ini memperkecil peluang mereka untuk membangun kembali di lokasi yang sama.
Israel percaya bahwa dengan mengubah geografi kamp dan mengosongkannya dari penduduknya, mereka dapat menghancurkan basis sosial yang menopang perlawanan Palestina.
Namun, sebagaimana yang disampaikan dalam laporan Al Jazeera, meskipun hampir 80 tahun telah berlalu sejak kamp-kamp pengungsi Palestina pertama kali didirikan, Israel masih belum menemukan cara untuk mengakhiri perlawanan di sana. Bahkan, ratusan operasi militer yang telah mereka lakukan di kamp-kamp pengungsi di Tepi Barat tidak mampu menghilangkan akar perlawanan yang telah mengakar di wilayah tersebut.
Diketahui bahwa sejak 21 Januari lalu, pasukan Israel melancarkan agresi militer di wilayah utara Tepi Barat, dimulai dari Kota Jenin, kamp pengungsinya, serta beberapa kota di sekitarnya. Serangan kemudian diperluas ke Kota Tulkarm dan kamp pengungsinya, sebelum akhirnya pasukan Israel menyerbu Kota Tamun dan Kamp Al-Far’ah di Provinsi Tubas.
Sumber: Al Jazeera